Djawanews.com – Aksi kejahatan dengan senjata tajam di jalan yang dilakukan tanpa motif jelas, atau klitih, kembali terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), tepatnya di Kabupaten Sleman, pada Jumat (21/08/2020), sekitar pukul 03.30 WIB.
Kejadian tidak mengenakkan tersebut menimpa Agung Setyobudi. Ia selamat, namun menderita banyak luka akibat sabetan senjata tajam dari rombongan bermotor yang jumlahnya diperkirakan mencapai belasan orang.
Menyikapi kejadian tersebut, Prof. Koentjoro Soeparno, pakar psikologi Fakultas Psikologi UGM, mejelaskan, dari sisi psikologi kriminal, masalah klitih lahir dari ketidakmampuan keluarga dan masyarakat mendidik anak.
“Klitih kebanyakan dilakukan oleh anak di bawah 18 tahun, berasal dari keluarga broken home,” ungkap Koentjoro, Jumat (21/08/2020), dikutip dari Tribunjogja.com.
Karena masih di bawah umur, tambahnya, pelaku klitih tak bisa dijerat dengan hukum, namun perlu dikembalikan pada orang tua.
“Tapi dari orang tua juga tidak ada yang ngopeni, sehingga lepas. Maka perlu diserahkan ke keluarga batih atau keluarga besarnya untuk menjadi wali. Kalau tidak ada juga, diserahkan ke masyarakat sekitarnya, semisal RT/RW untuk ngurusi bocah itu. RT/RW itu semacam LSM (lembaga swadaya masyarakat), mikirke bareng piye,” jelas Koentjoro.
Menurut Koentjoro, persoalan pelaku klitih juga harus dilihat dari latar belakangnya.
“Kebiasaan kita kalau ada anak bermasalah itu disingkirkan, dipojokkan, bukan dikunjungi. Saya pikir perlu dilihat latar belakangnya anak itu,” katanya.
Koentjoro juga menjelaskan, perilaku menyimpang yang dilakukan oleh para anak dibawah umur tersebut merupakan bentuk pencarian pengakuan atau ingin dianggap hebat.
“Mereka ingin dianggap “wah” oleh masyarakat, bisa membuat orang lain cidera, dia dikatakan hebat. Yang kedua, dia menjadi viral. Jadi klitih itu dua, di samping viral, dia dianggap hebat di mata umum. Akibatnya terus dilakukan, mereka gentayangan,” terangnya.
Selain itu, tambahnya, para pelaku klitih berani melakukannya karena berkelompok.
“Kalau berkelompok, ada sinergitas kelompok, sehingga lebih berani. Belum lagi jika menggunakan minuman keras, lebih nekat lagi,” tambah Koentjoro.
Jika Anda ingin mendapatkan info terkini lain, baik lokal, nasional, maupun mancanegara, ikuti terus berita hari ini.