Djawanews.com – Bawahan Luhut Binsar Pandjaitan, Septian Hario Seto memaparkan alasan pemerintah sempat mewajibkan tes PCR untuk penumpang pesawat di tengah penurunan kasus COVID-19.
“Saya merasa saya harus menulis mengenai hal ini. Saya akan cerita dari awal sehingga teman-teman bisa memahami perspektif mendesaknya kita akan kebutuhan tes PCR yang terjangkau dalam pandemi ini,” kata Septian pada Selasa, 09 November.
Bawahan Luhut itu mengungkapkan kebijakan wajib tes PCR tak diambil pemerintah secara asal-asalan. Kebijakan tersebut diputuskan bersama-sama dengan tim untuk mencegah resiko peningkatan penularan COVID-19.
Ia mengatakan 1 hingga 2 minggu sebelum kebijakan PCR untuk penumpang pesawat ini diberlakukan, pihaknya melihat peningkatan risiko penularan yang meningkat sangat drastis.
“Indikator mobilitas yang kami gunakan menunjukkan peningkatan yang signifikan. Contohnya di Bali, data mobilitas minggu ketiga Oktober 2021 menunjukkan level yang sama dengan liburan natal dan tahun baru 2020,” ungkap Seto dalam tulisan yang ia keluarkan di Jakarta pada awal pekan ini.
Bawahan Luhut Ungkapkan Alasan Wajib Tes PCR
Kemudian, hasil pengecekan tim dikirim juga mencatat penurunan disiplin protokol kesehatan yang luar biasa. Peduli lindungi hanya sebagai pajangan, terutama di tempat-tempat wisata dan bar.
“Bahkan salah satu tim saya berhasil memfoto pasangan yang bebas berciuman di dalam salah satu bar/cafe di Bandung,” Ujar bawahan Luhut.
Pertimbangan lain, peningkatan kasus corona yang luar biasa akibat varian Delta. Padahal, pemerintah mulai memberikan relaksasi aktivitas dan protokol kesehatan karena merasa tingkat vaksinasi dosis kedua sudah di atas 60 persen.
Pertimbangan ini diambil terkait peningkatan kasus COVID-19 di Singapura, Jerman, Inggris dan beberapa negara lain. Ia mengatakan tingkat vaksinasi dosis 2 Indonesia yang baru 36 persen di tengah relaksasi aktivitas masyarakat berpotensi meningkatkan risiko kenaikan kasus corona.
"Vaksinasi tidak sepenuhnya bisa mencegah penularan kasus. Mudah untuk mengambil kesimpulan ini, karena negara-negara yang saya sebutkan di atas memiliki cakupan dosis 2 di atas 60 persen," katanya.
Seto mengingatkan vaksinasi akan mengurangi risiko jika terkena COVID harus dirawat di RS. Namun, penerima vaksin masih bisa terkena COVID-19. Warga mungkin tidak bergejala dan masih bisa menularkan ke pihak lain.
Ia menambahkan peningkatan kasus corona harus dicegah. Pasalnya, kalau ada peningkatan kasus dan kebijakan PPKM Darurat harus diambil, biayanya sangat besar.
"Hasil hitungan kami, biaya langsung untuk perekonomian setiap 1 minggu dilakukan PPKM Darurat, adalah sekitar Rp 5,2 triliun. Itu belum termasuk korban jiwa yang tidak bisa dihitung secara moneter," jelasnya.
Sebelumnya, kewajiban PCR bagi penumpang pesawat sempat diberlakukan pada 24 Oktober lalu dan mendapat penolakan sejumlah pihak. Di saat yang sama, keterlibatan sejumlah pejabat pada bisnis PCR, salah satunya Luhut, mengemuka di media.
Bawahan Luhut, Septian mengungkapkan akhirnya pada akhir bulan November pemerintah bakal mencabut aturan wajib PCR bagi penumpang pesawat dan menggantinya dengan kewajiban hasil negatif antigen bagi calon penumpang yang sudah vaksin COVID-19.
Untuk mendapatkan warta harian terbaru lainya, ikuti portal berita Djawanews dan akun Instagram Djawanews.