Djawanews.com - Genap sebulan Afghanistan berada di bawah kekuasaan Taliban. Sebelumnya, kelompok Taliban berhasil merebut ibu kota Kabul pada 15 Agustus lalu.
Setelah melewati peperangan selama empat dekade, persisnya semenjak diinvasi Uni Soviet, perekonomian Afghanistan kacau balau.
Negara itu mengalami kekeringan dan kelaparan berkepanjangan. Ribuan orang didorong keluar dari pedesaan menuju perkotaan. Program Pangan Dunia (WFP) khawatir persediaan pangan bisa hais pada akhir September ini.
Jika hal ini terjadi, maka 14 juta warga Afghanistan bisa menderita kelaparan.
Ekonomi Merosot
Banyak pihak yang menyambut berhentinya pertempuran di Afghanistan. Keamanan pun jadi lebih baik. Namun mereka menemui kendala baru yaitu kesulitan mencukupi kebutuhan karena ekonomi yang terus merosot.
Seorang penjual daging di Bibi Mahro yang tak mau menyebutkan namanya mengatakan, "Keamanan cukup baik saat ini tetapi kami tidak mendapatkan apa-apa. Setiap hari, segalanya menjadi lebih buruk bagi kami, lebih pahit. Ini benar-benar situasi yang buruk."
Setelah proses evakuasi di Kabul usai bulan lalu, penerbangan pertama yang membawa bantuan mulai berdatangan saat bandara di kota tersebut dibuka kembali.
Donor Internasional telah menjanjikan lebih dari 1 miliar dollar AS untuk mencegah keruntuhan negara, seperti yang diungkap Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres.
Para petinggi Taliban juga mengatakan bahwa mereka telah berjuang untuk meyakinkan komunitas internasional bahwa mereka telah benar-benar berubah.
Meski Taliban telah mengumumkan pemerintahan interim Afghanistan pekan lalu, belum ada tanda-tanda pengakuan internasional atas pemerintahan tersebut.
Demikian halnya dengan tidak adanya langkah untuk membuka blokir cadangan devisa senilai lebih dari 9 miliar dollar AS yang disimpan di luar Afghanistan.