Indonesia dihebohkan oleh banyak kekasairan fiktif yang bermunculan akhir-akhir ini, salah satunya Sunda Empire (Kekaisaran Sunda) di Bandung Jawa Barat. Setelah raja dan ratu Keraton Agung Sejagat diringkus pihak kepolisian, nama Sunda Empire bukannya menurun, tetapi justru meningkat drastis.
Di Twitter saja per 16-22 Januari telah ditweets sebanyak 10.367 kali. Media-media besar seperti TV One dan Kompas TV juga aktif mengekspos kerajaan yang katanya akan mempimpin dunia Agustus mendatang tersebut.
Anehnya walaupun ‘tidak masuk akal’ Sunda Empire berhasil menggaet banyak pengikut. Ada apa sebenarnya dengan masyarakat kita? Berikut penelitian kecil Djawanews dari sisi Psikoanalisis.
Memori Kolektif: Hasrat Akan Kembalinya Kejayaan Lama
Menurut Sigmund Freud sebuah ingatan (memory) sejatinya tidak pernah terhapus tetapi hanya tertutupi oleh memori-memori yang datang kemudian. Ingatan menyakitkan tentang sebuah peristiwa di masa lalu akan muncul kemudian ketika ada pemicu (trigger) terkait peristiwa tersebut.
Ketika memori menyakitkan ini muncul kembali maka individu yang bersangkutan akan mengalami ketidakstabilan. Ketidakstabilan ini menarik perhatian individu untuk merekonfigurasi ulang memorinya untuk bisa melanjutkan hidup. Dan hal itu normal secara psikologis.
Sebuah memori tidak hanya bersifat individual tetapi juga komunal. Dalam hal ini peristiwa yang dialami sebuah masyarakat atau bahkan negara di masa lalu akan tetap ada dalam ingatan negara tersebut meskipun generasi-genarasi berganti.
Maurice Halbwachs menyebut ingatan negara tersebut dengan nama memori kolektif (collective memory). Ia mengatakan momori kolektif bisa tetap terjaga melalui monumen-monumen yang dibangun di negara tersebut, sejarah yang terdokumentasi dalam teks-teks sejarah, atau pun cerita-cerita lisan yang didongengkan turun temurun.
Sejarah nusantara adalah sejarah gemilang kerajaan yang pernah memimpin dunia bahkan menyaingi dinasti Jengis Khan di China. Sebut saja Kerajaan Tarumanegara, Majapahit, Sriwijaya, dan Silliwangi. Sejarah mereka abadi dalam banyaknya candi-candi yang berjejer menghiasi bumi nusantara. Selain itu teks-teks sejarah atau dongeng turun-temurun telah memahat kejayaan tersebut dalam memori masyarakat Indonesia, khususnya Jawa.
Indonesia di masa lalu pernah mengalami kejayaan gemilang yang kemudian menghilang. Ada rasa ‘ketidakterimaan’ dari bangsa ini akan ‘kehilangan’ tersebut. Tetapi kenyataan akan kondosi Indonesia yang tidak memungkin kejayaan itu lagi telah menekan (merepresi) ‘ketidakterimaan’ ini.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, momori kolektif akan ‘ketidakterimaan’ tersebut akan muncul kembali ketika ada pemicu (trigger). Dan seperti halnya memori Individu kemunculannya akan meminta perhatian untuk distabilkan kembali. Kesemuanya adalah wajar secara psikologis.
Wacana dalam mitos-mitos nusantara tentang kembalinya kejayaan lama setelah lima ratus tahun runtuhnya Majapahit telah memicu rasa ‘ketidakterimaan’ di atas. Ditambah dengan fakta mundurnya seorang pangeran di Inggris telah semakin menguatkan hal tersebut.
Munculnya kerajaan-kerajaan fiktif hari ini merupakan bentuk dari ‘rasa ketidakterimaan’ dalam memori kolektif bangsa ini setelah direpresi selama 500 tahun. Dan hal ini merupakan hal yang wajar secara psikologis bahkan positif.
Memori negatif seperti sebuah racun di dalam tubuh, ia butuh dikeluarkan. Kerajaan-kerajaan fiktif ini bisa dikatakan sebagai salah satu bentuk pengeluaran racun tersebut. Yang diperlukan hanyalah perhatian lebih dari pemerintah untuk menstabilkan kembali konflik-konflik yang ditimbulkannya sehingga negara bisa normal kembali.