Mengapa ramalan Joyoboyo selalu kontekstual dengan kondisi zaman?
2 Desember 1930, Bung Karno diadili di hadapan pengadilan Belanda atas tuduhan makar. Melalui podatonya, Soekarno menyatakan jika saat itu Indonesia tengah menunggu datangnya “Ratu Adil”, yang merupakan sosok dalam ramalan Joyoboyo.
Ketika Soekarno menyampaikan pledoinya, hari itu sudah hampir 800 tahun setelah mangkatnya Joyoboyo, namun ramalannya masih dikenal. Lantas apa yang menyebabkan ramalan Joyoboyo begitu abadi?
Ramalan Joyoboyo, Abadi karena Sastra
Joyoboyo yang dikenal sebagai peramal sakti lintas zaman, adalah salah satu raja yang memerintah Kerajaan Kediri pada tahun 1130 sampai 1157. Memiliki gelar Sri Aji Joyoboyo, sastra Jawa Kuno mengalami masa keemasan di masa pemerintahannya.
Tidak seperti raja-raja di masanya yang terbiasa dengan budaya lisan, Joyoboyo memiliki tim ahli kesusastraan kerajaan. Empu Panuluh dan Empu Sedah adalah sastrawan yang sangat terkenal sebagai ahli sastra kerajaan.
Empu Panuluh dan Empu Sedah diperintah langsung oleh Joyoboyo untuk menyadur cerita Mahabarata versi Bahasa Sansekerta ke dalam kakawin berbahasa Jawa kuno dalam versi Bharatayudha.
Joyoboyo juga memerintahkan Empu Panuluh untuk mengubah kakawin Gatotkacasraya dan Hariwamsa. Memperkenalkan budaya tertulis, membuat masa kepemimpinan Joyoboyo disegani. Lantas siapa penulis Ramalan Joyoboyo?
Berdasarkan karya-karya sastra yang dibuat pada masa-masa itu, tidak tercatat perihal ramalan Joyoboyo. Ramalan Joyoboyo, baru muncul pada sekitar tahun 1618 ketika periode persebaran Islam di nusantara, atau saat Sunan Giri Perapan (Sunan Giri ke-3) menggubah Kitab Musarar (Asrar).
Ramalan Joyoboyo Berasal dari Kitab Asrar
Kitab Asrar (Musarar) dikumpulkan Sunan Giri mulai tahun 1618, atau selisih 5 tahun setelah selesainya penulisan kitab Pararaton pada tahun 1613. Kemudian kitab “Jangka Jayabaya” yang pertama dan dianggap asli, adalah karya dari Pangeran Wijil I atau Pangeran Kadilangu II yang dikarang pada tahun 1741-1743 M.
Pangeran Wijil I merupakan pujangga yang memiliki kekuasaan di wilayah “Perdikan” di Kadilangu (dekat Demak) dan merupakan keturunan dari Sunan Kalijaga. Hal tersebut sekaligus menjawab kuatnya referensi terkait riwayat masuknya Islam pertama di nusantara, melalui momen pertemuan antara Brawijaya V, Sunan Kalijaga, dan Sabda Palon—Nayagenggong.
Meskipun Ramalan Jayabaya diragukan keasliannya (lantaran produk gubahan) namun hingga sekarang ramalan tersebut masih tetap abadi dan dipercaya oleh masyarakat, tidak terkecuali tokoh-tokoh bangsa.
Masyarakat masih mempercayai jika Ramalan Joyoboyo tidak hanya sekadar tulisan, namun produk olahan dari sebuah laku prihatin sebagaimana ajaran Jawa. Joyoboyo bahkan dipercaya sebagai sosok yang diberi karunia weruh sakdurunge winarah atau mengetahui sebelum terjadinya sebuah peristiwa.
Joyoboyo di dalam karyanya memperkenalkan sebuah sastra yang abadi, sebagai contoh memunculkan sosok Ratu Adil, dan hal tersebut tetap relevan di setiap zaman. Sosok Ratu Adil, di masa Soekarno adalah wujud spirit untuk bersatu pada dalam melawan segala penjajahan.
Ramalan Joyoboyo yang tetap abadi, tidak menampik lantaran produk tulisan yang dimaklumatkan Sang Raja. Sosok Joyoboyo di nusantara sebenarnya banyak, namun tidak banyak yang peduli pada tulisan dan sastra pada masanya.
Ingin mendapatkan fakta menarik lainnya? Ikuti terus artikel-artikel di berita harian online serba-serbi.