Djawanews.com—Epidemi memang selalu menjadi pencabut nyawa paling menakutkan dalam sejarah manusia. Selain sulit ditangani, persebaran epidemi juga sangat cepat menjangkit populasi.
Saat ini dunia sedang disibukkan oleh COVID-19 yang telah membunuh 1600an orang. Namun ternyata jumlah itu sangat kecil dibandingkan apa yang telah dialami pada tahun-tahun yang lalu.
Epidemi paling mematikan sepanjang sejarah manusia yakni ‘The Black Death’ pada abad ke-14 yang menewaskan 25 juta orang atau setengah populasi regional. Yang kedua yakni epidemi ‘cocoliztli’ yang merenggut 15 juta orang atau sekitar 80% dari penduduk Meksiko pada waktu itu.
Epidemi ‘cocoliztli’ masih menjadi misteri selama 500 tahun bagi para ilmuwan, sampai baru-baru ini berhasil dipecahkan melalui analisis DNA para mayat di kuburan Aztec.
Epidemi ‘Cocoliztli’ Berakar dari Bakteri yang Dibawa Spanyol
Epidemi mematikan terentang antara tahun 1545-1578. Saat itu manusia yang mati seperti daun yang jatuh pada musim gugur. Sejarawan Prancis, Fray Juan de Torquemada, menggambarkan kengerian saat itu sebagai berikut.
“Di kota-kota besar parit besar digali, dan dari pagi hingga matahari terbenam para imam tidak melakukan apa pun selain membawa mayat-mayat dan membuangnya ke dalam parit,” kata Torquemada seperti dikutip dari the Guardian.
Epidemi paling mematikan dalam rentang tersebut yakni ‘cocoliztli’ yang membunuh 80% penduduk Meksiko pada 1545. Namun penyebab dari wabah ini masih menjadi misteri sampai baru-baru ini dilakukan penelitian terhadap DNA mayat-mayat di kuburan Aztec di mana para korban dikuburkan.
Walaupun belum bisa dipastikan, para ilmuwan sepakat bahwa ‘cocoliztli’ disebabkan oleh bakteri Salmonella Enterica dari jenis Paratyphi C. Menurut penelusuran, bakteri tersebut dibawa oleh binatang peliharaan orang-orang Spanyol yang datang ke Meksiko. Bakteri tersebut kemudian menyebar melalui makanan dan air yang diminum oleh penduduk Meksiko.