Kemunculan nama Dyah Ranawijaya yang disebut Totok Santosa dalam pendirian Keraton Agung Sejagat di Purworejo membuat banyak orang tertawa, sekaligus tidak sedikit yang kembali membuka sejarah nusantara.
Setidaknya munculnya kerajaan nyeleneh Keraton Agung Sejagat, membuat kita kembali belajar sejarah dengan benar. Lantas siapakah Dyah Ranawijaya tersebut?
Silsilah Dyah Ranawijaya
Historia mencatat, diakhir masa kejayaannya Majapahit diselimuti dengan peperangan demi peperangan, terutama Perang Paregreg antara Raja Wikramawarddhana (Kedaton Kulon) melawan Bhre Wirabhumi (Keraton Wetan).
Perang yang membut Bhre Wirabhumi kalah, membuat Wikramawarddhana berkuasa, hingga meninggal pada tahun 1429 dan digantikan putrinya Suhita yang memerintah dari 1429—1447.
Setelahnya pemerintahan diisi oleh Bhre Tumapel Kertawijaya (1447-1451), kemudian dilanjutkan oleh Bhre Pamotan (Sri Rajasawarddhana) hingga meninggalnya tahun 1453. Setelah itu selama tiga tahun Majapahit tidak memiliki raja.
Hingga tahun 1456, Bhre Wengker yang merupakan Putra Bhre Tumapel Dyah Kertawijaya, naik tahta dan memerintah selama sepuluh tahun. Setelahnya, pemerintahan dilanjutkan Bhre Pandansalas hingga 1474.
Sesudahnya, barulah muncul nama Dyah Ranawijaya yang merupakan putra dari Bhre Pandansalas. Setelah menjadi raja ia mendapatkan gelar Girindrawarddhana.
Wikipedia Indonesia mencatat, Ranawijaya pada tahun 1486 mengeluarkan Prasasti Jiyu yang menandakan kekuasaannya sekaligus peringatan Bhatara Mokteng Dahanapura. Sosok tersebut sekaligus diyakini sebagai orang tua Ranawijaya.
Sebagai raja terakhir Majapahit, Ranawijaya pada tahun 1517 menjalin hubungan dengan Portugis di Malaka. Hal tersebut membuat Kesultanan Demak menyerang Majapahit dan dirinya menjadi Bupati Majapahit di bawah kekuasaan Demak.