Jika Anda singgah ke beberapa tempat wisata di Samarinda dan melewati Sungai Kerbau, maka akan menjumpai sebuah makam yang disakralkan oleh penduduk sekitar.
Makam yang memiliki kisah berupa Legenda Sungai Kerbau Keramat tersebut, hingga kini masih dijaga kearifannya. Meskipun hanya cerita rakyat, namun legenda tersebut memiliki sisi historis terkait Kerajaan Kutai Kartenagara di masa lampau.
Sungai Kerbau Keramat: Sebuah Fiksi Historis
Dilansir dari Histori.id Legenda Sungai Kerbau Keramat diawali pada pertengahan abad 13, ketika Kerajaan Kutai Kertanegara berada di bawah kepemimpinan Aji Maharaja Sultan.
Wikipedia Indonesia juga mencatat jika Aji Maharaja Sultan merupakan raja ke-3 yang memerintah Kutai Kertanegara dan bertakhta mulai tahun 1360 hingga 1420. Ia merupakan raja yang memerintah setelah menggantikan ayahnya Aji Batara Agung Paduka Nira.
Diceritakan jika Aji Maharaja Sultan pada masa pemerintahannya telah menyatukan beberapa kerajaan di sekitar Sungai Mahakam dalam kekuasaan Kutai Kartanegara. Pada masa itu pula kerajaan berada pada masa kejayaan dan kemakmuran.
Raja Kutai Kertanagaya yang bermaksud memperindah istananya dengan ukiran-ukiran kayu yang bernilai seni tinggi, kemudian atas usul dari pengerannya mengundang pemahat kayu dari Jawa yang pada masa itu terkenal dengan ukirannya.
Kemudian didatangkan dua pemahat kayu bersaudara dari Jawa untuk menghias Istana Kutai Kertanegara. Raja yang sangat puas dengan hasil ukiran kayu mereka, kemudian memperlakukan keduanya dengan sangat istimewa. Bahkan memberikan hak untuk tinggal bersama keluarganya di istana.
Para pejabat istana yang iri dan dengki terhadap dua pemahat kayu tersebut, kemudian menyusun siasat untuk menyingkirkan mereka. Hingga akhirnya mereka sepakat untuk menyingkirkan keduanya dengan menuduh telah melakukan perbuatan senonoh terhadap dayang istana.
Raja pun mendapat laporan dari pejabat istana terkait kedua pemahat kayu, hingga akhirnya mengusirnya. Tidak hanya mengusir, atas hasutan para pejabat raja memerintahkan agar keduanya dihukum gantung.
Kutukan Sang Pemahat Kayu
Sebelum menjalani hukuman mati, salah satu pemahat kayu mengatakan “Sepuluh hancur luluh, sebelas jadi alas,”. Kalimat tersebut sekaligus sebuah kutukan yang menjadi akhir dari Kerajaan Kutai Kartanegara beberapa abad kemudian.
Kutukan pemahan kayu tersebut kemudian terbukti beberapa abad setelahnya, yaitu ketika Kutai Kertanegara di bawah pemerintahan raja ke 10, Aji Sultan Aliyiddin (sekitar tahun 1752) mendapat serangan dari Bajak Sulu Kebuntalan.
Serangan yang dipimpin Dato Tan Perana tersebut telah menghancurkan kerajaan dan setelahnya wilayah tersebut menjadi ”alas” atau hutan yang bernama Kutai Lama.
Mayat salah satu pemahat yang dihukum mati kemudian dibuang ke Sungai Kerbau. Namun mayat tersebut tida hanyut mengikuti aliran air sungai, tapi malah menuju ke arah hulu muara sungai di dekat Kota Samarinda.
Atas kejanggalan tersebut, masyarakat kemudian mengkramatkan Sungai Kerbau. Kemudian pemahat tersebut dibuatkan makam di sungai, dengan tulisan ”Keramat Wali Ukir, Syeh Abdul Gufron”, yang hingga kini ramai diziarahi orang-orang dari berbagai daerah.
Legenda Sungai Kerbau Keramat memang membaurkan antara fiksi dan sejarah. Meskipun, dikeramatkannya Sungai Kerbau tetap membawa dampak positif, yaitu tetap terjaganya ekosistem alam di dalamnya.