Djawanews.com – Ada banyak sekali kisah di balik pagar tribun yang mungkin sering kita dengar. Ada tangis haru suporter ketika klub kebanggaannya menjadi pemenang bahkan juara. Ada tangis kesedihan ketika klub yang mereka bela harus kalah dalam setiap pertandingan. Ada nyanyian chants yang selalu menggema di setiap sudut bangku penonton.
Para suporter adalah kekuata, roh, bahkan jiwa klub yang tak pernah berkhianat. Tak peduli di kasta manapun, yang suporter butuhkan hanyalah menyaksikan timnya berlaga dan menonton klubnya berlaga menjadi agenda utama yang mereka habiskan setiap akhir pekan.
Ada banyak sekali rasa yang dirasa suporter. Ada harap, marah, kecewa, hingga patah hati dalam 90 menit pertandingan sepak bola. Bahkan ada ribuan pasang mata yang siap mengorbankan waktu dan tenaga untuk tim kesayangannya.
Karena hal tersebut, membuat sepak bola harusnya murni dan milik suporter sepenuhnya. Mereka tidak mengharap kembali pada uang-uang yang mereka bayarkan untuk setiap tiket pertandingan dan biaya laga tandang. Yang mereka inginkan hanya timnya bisa bermain dengan hati, baik menang atau kalah. Menang mereka bangga, kalah mereka tetap ada.
Romantisme suporter menjadi sangat berbeda ketika melihat Liga 1 Indonesia kembali berjalan musim ini. Dalam 6 pertandingan saja, beberapa klub besar yang sudah ditunggu fansnya untuk berlaga malah tampil di bawah harapan. Kecewa dan rasa memiliki lebih besar dari segalanya, saat tim kebanggaan hanya bisa bermain imbang beberapa kali dan mendapatkan kekalahan kesekian kali hingga seri pertama usai.
Sepak bola adalah hiburan kaum pekerja, seiring berjalannya waktu, sepak bola menjadi tren industri saat ini. Kembali melihat timnya berlaga di Liga 1, suporter malah mendapat rasa kecewa. Ada Jakmania, Viking, PSS Sleman, Aremania, dan Bonek. Beberapa suporter besar yang kecewa dengan tim kebanggaannya.
Dari suporter yang disebutkan di atas, hanya PSS Sleman yang mendapat satu lagi selain rasa kecewa, yakni sebuah ancaman. Sleman Fnas yang melayangkan tuntutan untuk petinggi PSS Sleman mundur malah mendapat serangan balik dengan sebuah pernyataan yang cukup keras dari manajemen.
Mungkin baru ini dalam sejarah sepak bola Indonesia, ada klub yang secara tega mengancam suporter akan memindahkan homebase usai mendapat kritik dari suporter. Seolah, manajemen PSS Sleman ingin menujukkan siapa pemilik klub sebenarnya dan ingin menggertak balik Sleman Fans. Berdasarkan akar sejarah yang panjang, Sleman Fans akhirnya bergerak.
Datang langsung menemui manajemen di Bandung, bertemu dengan pemegang saham di Jakarta, hingga menuju Solo demi bertemu dengan tim kebanggaannya, meski akhirnya mereka harus diangkut oleh mobil polisi.
Namun, hingga hari berganti, kemarahan Sleman Fans masih belum surut, tuntutan mereka belum terpenuhi, manajemen masih terus saja bebal dan mengulur waktu. Suporter yang seharusnya menjadi pemilik klub secara murni dan tulus justru harus menggantungkan harapan pada manajemen yang mungkin belum pernah melihat seluruh sisi Stadion Maguwoharjo yang keramiknya berkurang setiap pertandingan. Selain itu, yang terbaru, Sleman Fans harus berurusan dengan buzzer usai mengkritik timnya sendiri.
Hal ini mengindikasikan ada pihak-pihak yang merasa terganggu dan ingin membuat narasi baru untuk menyerang Sleman Fans. Bahkan hingga seri kedua Liga 1 Indonesia berjalan dua pertandingan, Sleman Fans masih terus melakukan protes dan bukan tidak mungkin gelombang protes dan kritik akan terus mengalir deras.
Bagaimanapun juga, kisah di balik pagar tribun adalah kisah yang tidak akan pernah habis. Cerita tentang kemenangan, kekalahan, rasa bangga, dan rasa keceewa akan terus lahir dari stadion mana pun dan di kasta apa pun.
Ingin tahu informasi mengenai sport lainnya? Pantau terus Djawanews dan ikuti akun Instagram milik Djawanews.