Djawanews.com – Pemerintah telah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 Persen menjadi 11 Persen dan berlaku mulai 1 April mendatang. Hal ini menyusul disahkannya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Kenaikan PPN jadi 11 Persen ini pun langsung mendapat sorotan dari pakar ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira.
Menurut Bhima, dampak kenaikan PPN jadi 11 persen mulai April 2022 cukup kompleks.
Sebab, jika terjadi kenaikan tarif PPN, tapi tidak disertai perbaikan pendapatan masyarakat yang signifikan akan menggerus daya beli masyarakat.
"Mereka yang masuk dalam kategori kelas menengah tanggung, bisa jadi orang miskin baru akibat kebijakan pajak yang agresif," ujarnya, dikutip dari tribunnews.com, Rabu 23 Maret.
Bagi masyarakat kelas menengah, jika ada kenaikan PPN, artinya mereka harus melakukan penghematan untuk belanja-belanja yang tidak mendesak.
"Mereka juga akan mencari produk yang jauh lebih terjangkau harganya, meskipun harus mengorbankan kualitas ataupun kuantitas dari produk itu," kata Bhima.
Dari sisi produsen barang, dia menilai, kemungkinan mereka akan menaikkan harga barang lebih dari 1 persen karena tertekan biaya produksi sejak pandemi.
"Jadi di sini, produsen memanfaatkan momentum ini, sehingga dampak psikologis harus dimitigasi karena kenaikannya bisa lebih dari 1 persen sebenarnya secara riil di masyarakat," ujar Bhima.
Secara psikologis juga, produsen dinilainya sudah mengalami tekanan biaya produksi sejak akhir 2021, sehingga memanfaatkan situasi kenaikan PPN untuk menyesuaikan harga di level konsumen.
"Dengan demikian, mereka bisa mempertahankan margin keuntungannya. Apalagi berkaitan dengan momentum Ramadan, di mana permintaan biasanya naik tinggi," kata Bhima.
Dia menambahkan, soal PPN ini berarti kenaikan berdampak ke seluruh barang, kecuali beras atau beberapa kebutuhan pokok lainnya.
"Yang lainnya, misalkan kendaraan bermotor, restoran, bahkan iklan di sosial media dan gadget itu semua PPN-nya naik dari 10 persen menjadi 11 persen," ujarnya.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa kenaikan tarif PPN ini ditujukan untuk menciptakan sebuah rezim pajak yang adil, pada saat yang sama juga membuat rezim pajak Indonesia yang kuat.
“Memangnya kita butuh pajak yang kuat untuk nyusahin rakyat? Enggak, karena pajak itu untuk membangun rakyat juga, mulai bangun sekolah, rumah sakit, infrastruktur, bahkan listrik, LPG, itu semuanya ada elemen subsidinya,” jelasnya saat Economy Outlook 2022 CNBC Indonesia pada Selasa kemarin, 22 Maret.
Menkeu juga menegaskan alokasi penerimaan negara dari pajak tidak hanya untuk infrastruktur semacam jalan tol, tapi juga dikerahkan sebesar-besarnya bagi kebutuhan masyarakat, tidak terkecuali subsidi energi untuk listrik dan LPG yang memerlukan biaya luar biasa.
Sri Mulyani pun menuturkan aspek keadilan dari kenaikan PPN ini juga dipertimbangkan. Ia menambahkan masih ada ruang yang luas bagi PPN di Indonesia dinaikkan karena rata-rata tarif di negara lain jauh lebih besar, yaitu 15 persen.
“Indonesia kita naikkan 11 persen dan nanti 12 persen pada 2025. Kenapa dilakukan? Kita lihat APBN works extremely hard di pandemi ini, kita ingin menyehatkan jadi kita lihat mana yang masih ada space-nya, agar setara dengan negara lain tapi Indonesia tidak berlebihan,” jelas dia.