Indonesia dililit hutang dalam jumlah besar, berikut ini cara pengelolaan utang negara yang dilakukan pemerintah.
Hingga Maret 2019 utang Indonesia tembus Rp4.567,31 triliun. Maka tidak heran jika utang negara, dalam pemilihan presiden menjadi isu yang terus digoreng. Berikut ini pengelolaan utang negara yang dilakukan oleh pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).
Rincian Utang dan Cara Pengelolaan Utang Negara
Pada tahun lalu utang negara tercatat Rp4.136,9 triliun, sehingga tahun ini pemerintah telah menambah utang Rp430,41 triliun. Rasio utang negara tersebut terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 30,12 persen.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan yang dilansir dari cnnindonesia menyatakan jika utang negara tersebut mayoritas berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), dengan jumlah Rp3.776,12 triliun, atau 82,68 persen dari total utang negara.
Pada kuartal I tahun 2019 ini, utang negara bertambah sebesar Rp177,86 triliun, dengan porsi mencapai 49,51 persen dari target APBN sebesar Rp399,25 triliun.
Besarnya utang negara yang dilakukan oleh pemerintah tentu membuat kekhawatian. Sehingga salah satu cara pemerintah dalam melakukan pengelolaan utang negara adalah dengan melakukan kebijakan “front loading”.
“Front loading” adalah strategi penerbitan Surat Berharga Negaa (SBN) di awal tahun dengan jumlah yang cukup banyak. Hal tersebut membuat penerbitan utang hingga akhir tahun menjadi lebih sedikit.
Strategi front loading tentu tidak dipermasalahkan pengelolaan keuangan negara. Pada tahun 2018, pemerintah juga melakukan langkah tersebut, kemudian berbeda halnya dengan utang rumah tangga yang seharusnya ditarik ketika dibutuhkan (just in time).
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE), Piter Abdullah juga dapat memaklumi kebijakan tersebut, dirinya menuturkan front loading dalam jumlah besar juga diperlukan dikarenakan minimnya penerimaan negara untuk belanja dan membayar utang-utang jatuh tempo.
Berkaitan dengan sikap utopia masyarakat terhadap ora orde baru (sebelum reformasi ’98) Abdullah menyatakan pembandingan tersebut tidaklah bijak. Menurutnya, saat ini pemerintah cukup baik dalam memitigasi risiko utang, dibuktikan dengan peringkat bagus surat utang dari lembaga pemeringkat internasional, seperti S&P, Moody’s, dan Fitch Ratings.
Meskipun demikian kebijakan pemerintah dalam pengelolaan utang negara juga memiliki celah. Seperti proporsi kepemilikan investor asing di dalam SBN yang masih didominasi investor asing.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) per 22 April 2019, sebesar 38,3 persen SBN denominasi rupiah masih didominasi oleh investor asing.
Dominasi tersebut membuat struktur utang Indonesia menjadi rentan, karena sewaktu-waktu para investor asing dapat melepas kepemilikan atas SBN domestik. Hal tersebut membuat permintaan dolar AS naik dan rupiah melemah.
Strategi pengelolaan utang negara dengan cara front loading, memang sudah tetap sasaran, namun pemerintah sebaiknya memperhatikan porsi kepemilikan asing. Abdullah menyatakan porsi asing di SBN setidaknya bisa 10 persen.