Wacana sistem perbankan digital mulai menyeruak di tengah perkembangan teknologi.
Sistem perbankan dalam masyarakat modern memegang sektor penting perekonomian. Namun lantaran zaman sudah bergerak dan teknologi memiliki peran penting, wacana sistem perbankan digital muncul.
Sistem Perbankan Digital Dapat Diterima?
Ketika kondisi perbankan di Indonesia sedang bertahan menghadapi likuiditas ketat, wacana sistem baru perbankan kemudian menggulir bak bola salju. Dapatkan fintech menggantikan sistem perbankan konvensional?
Berdasarkan investigasi CNBC Indonesia (15/8/19) melalui data Statistik Perbankan Indonesia (SPI) periode Mei 2019 yang dipublikasikan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), total Dana Pihak Ketiga (DPK) bank umum konvensional saat ini tercatat senilai Rp 5.414,6 triliun.
Angka DPK yang naik 6,28% jika dibandingkan tahun sebelumnya tersebut, dinilai lebih rendah dari pada capaian pada Mei 2018 dengan pertumbuhan sebesar 6,31% YoY.
OJK juga mencatat penyaluran kredit bank umum konvensional pada pihak ketiga non-bank senilai Rp 5.208,1 triliun. Angka tersebut naik 11,1% jika dibandingkan posisi yang sama pada periode tahun sebelumnya. Namun, pertumbuhan tersebut dinilai lebih baik dari capaian Mei 2018 dengan pertumbuhan 10,4%.
Hal tersebut membuat rasio penyaluran kredit terhadap DPK atau loan to deposits ratio (LDR) bank umum melonjak 96,19% per Mei 2019, (dari 91,99% pada Mei 2018). LDR adalah rasio jamak yang digunakan mengukur likuiditas. Semakin tinggi LDR, maka likuiditas perbankan semakin ketat. Ketika ruang gerak perbankan menjadi terbatas, maka tidak dapat menyalurkan kredit maksimal jika tidak ada asupan DPK yang memadai.
Menanggapi hal tersebut, industri peer-to-peer (P2P) lending atau fintech lending, muncul dengan jumlah pinjaman yang terus-menerus melejit. OJK mencatat perkembangan Fintech Lending per Juni 2019 adalah Rp 44,81 triliun pinjaman yang disalurkan (melejit 97,68% dibandingkan posisi akhir tahun lalu).
Meskipun mengalami kenaikan pinjaman yang cukup signifikan, fintech lending masih kalah jauh dibandingkan sistem perbankan konvensional yang mencapai lebih dari Rp 5.000 triliun pinjaman.
Sehingga dibutuhkan pemberian insentif besar-besaran dari investor untuk memperbesar kapasitas fintech lending. Selain itu fintech lending juga harus terdaftar dalam OJK. Berdasarkan data CNBC, saat ini hanya 7 fintech yang sudah memiliki izin, dan 128 fintech hanya berstatus terdaftar. Hal tersebut membuat pemodal besar untuk berinvestasi menjadi terbatas.
Kendala lainnya sistem fintech adalah terkait bunga yang begitu tinggi bagi para peminjam (debitur). Sebagai contoh adalah PT. Financcel Digital Indonesia melalui platform Kredivo yang menawarkan pinjaman tenor 12 bulan bunga 24%).
Fintech lainnya, PT Layanan Keuangan Berbagi melalui DanaRupiah menawarkan kredit dengan bunga 28% per tahun plus biaya platform 8%. Sehingga jika ditotal, biayanya adalah 36%.
Jika dibandingkan dengan suku bunga kredit perbankan, (per Mei 2019) rata-rata nilai bunga adalah 11,57%. Tentu memilliki selisih yang sangat besar dengan fintech lending dengan bunga hingga 30% lebih. Tingginya tingkat suku bunga kredit fintech, sehingga sistem perbankan digital tersebut berpotensi memiliki gagal bayar yang tinggi.