Djawanews.com – Banyak orang Indonesia berencana bekerja di luar negeri karena tergiur oleh gaji yang lebih tinggi. Namun, penting untuk mempertimbangkan berbagai faktor lain seperti biaya hidup dan inflasi sebelum memutuskan bekerja di negara lain.
Artikel ini akan menyoroti beberapa negara dengan rata-rata gaji tertinggi dan beberapa hal yang perlu dipertimbangkan sebelum memutuskan untuk bekerja di negera tersebut.
Negara dengan Rata-Rata Gaji Tertinggi
Menurut laporan majalah CEO WORLD, diperoleh nilai gaji rata-rata bulanan yang dibandingkan di berbagai negara untuk mengidentifikasi negara-negara yang membayar pekerjanya mulai gaji tertinggi hingga terendah.
Berikut ini 10 negara dengan gaji tertinggi pada tahun 2024 versi CEO WORLD (kurs asumsi 1 USD = Rp14.850):
- Swiss ($8111): Sekitar Rp120.766.500
- Luksemburg ($6633): Sekitar Rp98.323.950
- Amerika Serikat ($6455): Sekitar Rp95.728.250
- Islandia ($6441): Sekitar Rp95.559.650
- Norwegia ($5665): Sekitar Rp84.205.250
- Denmark ($5642): Sekitar Rp83.814.900
- Kanada ($5081): Sekitar Rp75.533.650
- Greenland ($4665): Sekitar Rp69.324.250
- Irlandia ($4622): Sekitar Rp68.667.900
- Belanda ($4581): Sekitar Rp68.008.650
Perlu diketahui, sektor keuangan, asuransi, listrik, pertambangan, teknologi informasi, ritel, dan pendidikan menawarkan pekerjaan dengan gaji tertinggi. Sebaliknya, dukungan administratif, perhotelan, dan konstruksi adalah sektor dengan gaji terendah.
Namun, penting untuk mempertimbangkan inflasi saat membandingkan gaji di berbagai negara. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak negara mengalami tingkat inflasi yang tinggi yang dapat mempengaruhi daya beli.
Tingkat inflasi ini sebagian besar disebabkan oleh pandemi dan gangguan rantai pasokan yang ditimbulkannya.
Selain itu, risiko geopolitik seperti konflik Rusia-Ukraina, persaingan strategis AS-China, konflik yang sedang berlangsung di Timur Tengah, persaingan geopolitik India-China, dan perlambatan ekonomi China.
Dampak Geopolitik Terhadap Gaji
Dilansir dari jurnal yang berjudul “Geopolitical risk, financial constraints, and tax avoidance”, faktor risiko eksternal seperti risiko politik dan risiko geopolitik semakin menjadi perhatian perusahaan, pelaku pasar, dan pejabat bank sentral karena potensi dampak ekonomi negatif yang signifikan.
Namun, perlu dibedakan kedua jenis faktor risiko ini karena merujuk pada risiko yang berbeda dan mengarah pada hasil yang berbeda.
Pertama risiko politik mendefinisikan ketidakpastian kebijakan seputar kebijakan moneter, kebijakan fiskal, pengeluaran pemerintah, regulasi, dan perpajakan. Ketidakpastian ini juga disebut sebagai ketidakpastian kebijakan ekonomi.
Berdasarkan studi terbaru membahas dampak ketidakpastian kebijakan ekonomi terhadap perilaku dan pengambilan keputusan perusahaan, menemukan bahwa volatilitas pengembalian saham spesifik perusahaan dan pengeluaran modal yang direncanakan sangat dipengaruhi oleh ketidakpastian kebijakan.
Sementara itu, Julio dan Yook (2012) menunjukkan bahwa perusahaan mengurangi pengeluaran investasi sekitar tahun pemilihan (pemilu) karena adanya ketidakpastian seputar kebijakan moneter dan kebijakan pajak, serta potensi perubahan peraturan.
Kemudian dampak risiko politik pada perilaku perusahaan juga dijelajahi, termasuk merger dan akuisisi, investasi modal, dan investasi tingkat perusahaan.
Dengan demikian, adanya beberapa risiko geopolitik dapat meningkatkan ketimpangan pendapatan dalam jangka pendek, dan akan memperburuk ketimpangan pendapatan dalam jangka panjang.