Dampak perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China berimbas langsung pada manufaktur di Asia.
Selama bulan Agustus industri manufaktur di Asia mengalami kelemahan lantaran semakin memanasnya perang dagang antara AS dan China.
Perang Dagang Berimbas pada Manufaktur Asia
Dilansir dari bisnis.com (2/9/2019), Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Managers’ Index/PMI) Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan berada pada level negatif pada bulan Agustus.
Jibun Bank dan IHS Markit merilis survey dan menunjukkan jika PMI di Jepang turun menjadi 49,3 (dari 49,4 pada bulan Juli) kontraksi bulan ke-8 berturut-turut. Kemudian PMI IHS Markit untuk Taiwan turun menjadi 47,9 (dari 48,1 pada Juli).
Selanjutnya PMI IHS Markit Korea Selatan naik menjadi 49 (dari 47,3 pada bulan Juli), namun angka tersebut masih di bawah 50, dan menunjukkan kontraski sekaligus menandakan menyusutnya aktivitas manufaktur.
Beberapa negara manufaktur di atas adalah yang paling rentan terhadap ketegangan perdagangan, mendinginnya ledakan teknologi, dan permintaan yang melambat sejalan dengan melemahnya ekonomi global.
Kemudian PMI China yang dirilis Caixin Media dan IHS Markit, dapat meorehkan peringkat bagus menjadi 50,4 (dari 49,9 pada Juli). Hal tersebut menunjukkan kembalinya ekspansi dan level tertinggi sejak Maret.
Meskipun demikian, PMI manufaktur resmi China tetap berkontraksi dengan turun menjadi 49,5. Angka tersebut sebagaimana data yang dirilis oleh Biro Statistik Nasional (NBS) pada Sabtu (31/8/2019), sejalan dengan sub-indeks yang menunjukkan kontraksi pesanan domestik dan pesanan baru di luar negeri.
Tidak hanya pada negara-negara sentral di Asia, pelemahan industri juga tampak di Asia Tenggara. PMI Indonesia sendiri jatuh lebih jauh ke dalam kontraksi dan level terendah sejak Juli 2017.
Selain Indoneia, PMI negara-negara tetangga seperti Filipina, Thailand, dan Myanmar berekspansi lebih lambat. PMI Agustus juga menunjukkan pelemahan yang menyebar di seluruh negara-negara Asia.
Ekonom Bloomberg Chang Shu dan Justin Jimenez menyatakan jika kemunduran PMI menyebabkan peningkatan tekanan pada pihak-pihak otoritas di Asia untuk meningkatkan dukungan kebijakan.
Dunia saat ini sedang memantau perkembangan hubungan perdagangan AS dan China, karena hal tersebut tetap menjadi pendorong utama sentimennya.
Penyebab melemahnya PMI di beberapa negara Asia, tidak lepas dari kebijakan pemerintah AS yang pada Minggu (1/9/2019) memberlakukan tarif lebih tinggi untuk impor China, dengan nilai sekitar US$110 miliar.
Langkah AS tersebut kemudian diikuti oleh China yang membalas balik terhadap sejumlah barang asal AS. Perang dagang adalah salah satu faktor meningkatnya prospek global, selain faktor lain seperti Brexit.