Djawanews.com – Seberapa besar peluang Presiden Jokowi (Joko Widodo) untuk menjadi Ketua Umum PDIP dan menggantikan Megawati? Sejak tahun 1999 hingga 2024 sudah menjadi saksi bahwa, Megawati Soekarnoputri didapuk menjadi ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) selama 25 tahun tanpa pembatasan masa jabatan.
Pasca reformasi ini kekuasaan yang dibangun Megawati menghadapi dilema besar meneruskan tirani kekuasaan kepemimpinan trah Soekarno untuk diambil alih oleh Presiden Jokowi (Joko Widodo) sebagai ketua umum PDIP.
Presiden Joko Widodo yang telah dua priode menjadi presiden 2014 dan 2019 berpotensi mendapatkan dukungan dari loyalis dan kader Parpol untuk memutus mata rantai tirani kekuasaan Megawati Soekarnoputri. Berdirinya PDIP menganut ide-ide marhenisme dalam sosialisme politik dan mengolaborasi ide-ide nasionalisme Soekarno berdemokrasi.
Namun, salah satu tonggak sejarah reformasi tentulah menjadi pelajaran PDIP menghindari anomali kekuasaan atau yang biasa disebut dengan penyalahgunaan kekuasaan “abuse of power” rezim Orde Baru (ORBA) dalam sistem kepemimpinan Soeharto yang otoriter. Maka pada amandemen yang pertama dilakukan adalah pembatasan kekuasaan eksekutif yang dominan. Patron politik keluarga Cendana mengendalikan berbagai sektor Parpol, birokrasi pemerintah, militer dan swasta masuk kedalam jurang resesi ekonomi terjadinya Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Kekuasaan Megawati memimpin PDIP menopang landasan historisitas kader politik yang kuat, bahkan sangat bepengaruh anjloknya suara PDIP yang mempunyai sindikasi pararel dengan turunnya popularitas sosok sentral Megawati Soekarnoputri karena perubahan pola politik dan sejumlah skandal selama dia menjabat sebagai Presiden menggantikan Gus Dur.
Situasinya pada tahun 2014 agak berbalik, sosok Presiden Jokowi berhasil meningkatkan elektabilitas menjadi partai mayoritas dengan suara 18,9 persen. Kinerja positif Joko Widodo membangun kekuatan loyalis dan relawan berhasil mengantarkan Joko Widodo sebagai Presiden RI. Tren positif berlanjut pada tahun 2019 suara PDIP memperoleh 19,3 persen dan mengantarkan Jokowi untuk kedua kalinya menjabat sebagai Presiden.
Sosialisme PDIP dan Tirani Megawati Bakal Runtuh oleh Presiden Jokowi?
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dideklarasikan pada 10 Januari 1973 mempunyai politik aliran sosialis Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Kristen dan Katolik, hingga sosialis Partai Musyawarah Rakyat Banyak (MURBA) melebur menjadi satu partai dari kebijakan rezim Orde Baru menggunakan strategi operasi depolitisasi melalui sistem peleburan atau fusi hanya menyisakan dua partai politik ditambah satu golongan dalam konstelasi kontrol kekuasaan politik nasional.
Kekuatan figur Megawati telah menjadi tirani kekuasaan bagi kesuksesan PDI, yang kemudian pada tahun 1999 berubah namanya menjadi PDI Perjuangan (PDIP). Mega masih menjadi patron tunggal sosialisme yang powerfull dan tirani kekuasaan PDIP seakan merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan, aliran Nasionalis Sosialis (NaSos) PDIP berujung pada otoritarian, kader dijadikan petugas Parpol dikontrol penuh oleh ketum Parpol.
Presiden Jokowi berhasil membuka ruang batasan afiliatif figur utama Megawati, miltansi loyalis dan relawan Jokowi melebihi daripada sistem kader Parpol.Potensi cukup besar mengambil alih menjadi ketum PDIP secara aklamasi pada Kongres VI PDIP pada bulan Agustus 2024 untuk menentukan arah kebijakan partai lebih modern, memberikan suara loyalis dan relawan yang telah mendukung kinerja Presiden Joko Widodo untuk bisa maju Capres dan Cawapres melalui PDIP.
Loyalis Relawan Presiden Jokowi dan Musra
Konstelasi politik loyalis dan relawan Jokowi menjadi perhatian PDIP karena telah banyak menaikan elektabilitas figure Jokowi dan PDIP untuk memperoleh tiket presidential treshold lebih dari 19 persen. Kekuatan loyalis dan relawan untuk mendukung partai politik membahas dukungan capres 2024. Politik relawan menggunakan strategi Musyawarah Rakyat (Musra) menjaring dan mempertimbangkan tokoh-tokoh, pejabat negara sebagai loyalis Jokowi untuk mendapatkan elektabilitas.
Musyawarah Rakyat (Musra) diadakan 34 provinsi di Indonesia mempunyai tujuan menyediakan ruang bagi publik untuk menyuarakan aspirasi politik mengenai capres 2024 dan mempunyai komitmen, loyalitas meneruskan program kerja pemerintahan Joko Widodo sebagai rekomendasi hasil Musra.
Selayaknya Musra tidak hanya mencari elektabilitas tertinggi tetapi lebih mengindentifikasi loyalis dalam pemerintahan Presiden Jokowi bukan dari kader Parpol, sasaran politik relawan memprioritaskan para pejabat negara yang menjadi loyalis Jokowi yang mengedepankan penilaian program kerja pemerintahan berhasil dan sukses di masyarakat.
Dapatkan warta harian terbaru lainya dengan mengikuti portal berita Djawanews dan akun Instagram Djawanews.