Djawanews.com – Tragedi Kanjuruhan sudah tiga bulan pengusutannya. Tragedi berdarah tersebut terjadi pada 1 Oktober 2022 di Stadion Kanjuruhan Malang kala Arema FC kalah dari rival abadinya Persebaya dengan skor 3-2.
Sejumlah Aremania atau suporter Arema FC yang tak terima dengan hasil pertandingan itu turun ke lapangan. Situasi itu direspons polisi dengan menembakkan gas air mata, tak hanya ke arah lapangan tapi juga ke stadion.
Gas air mata itu memicu kepanikan penonton hingga mereka berlarian menuju pintu keluar. Mereka berdesak-desakan hingga terinjak-injak. Akibat kejadian itu, 135 orang meninggal dunia dan sekitar 700 orang luka-luka.
Buntut kejadian itu, enam orang ditetapkan sebagai tersangka. Mereka adalah Ketua Panitia Pelaksana Arema FC Abdul Haris, Security Officer Suko Sutrisno, dan Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru (LIB) Akhmad Hadian Lukita.
Kemudian, Danki 3 Brimob Polda Jatim AKP Hasdarmawan, Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto, dan Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi.
Mereka dijerat Pasal 359 KHUP dan atau Pasal 360 KUHP dan atau Pasal 103 ayat (1) Jo pasal 52 UU RI no 11 tahun 2022 tentang Keolahragaan.
Selain enam tersangka, dua perwira polisi juga dicopot dari jabatannya. Yakni Kapolda Jawa Timur Irjen Nico Afinta dan Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat. Termasuk Ferli, ada juga 20 personel Polri yang kini diproses dan terancam sanksi etik.
Proses penyidikan tragedi Kanjuruhan cukup alot. Tiga Bulan berlalu, penyidikan dianggap tak memenuhi rasa keadilan korban dan keluarga korban.
Sempat ada dugaan intimidasi terhadap DA, ayah dari dua korban tewas tragedi Kanjuruhan, yang meminta jenazah anaknya diautopsi.
Selain itu, pasal-pasal yang digunakan untuk menjerat tersangka juga dianggap tidak tepat. Sebab, mereka hanya dijerat pasal kelalaian, bukan penganiayaan, pembunuhan atau pembunuhan berencana.
"Ini masih jauh dari keadilan korban. Belum ada rekonstruksi ulang, tidak ada tersangka tambahan, tidak ada penambahan pasal, soal pasal pembunuhan, penganiayaan dan kekerasan terhadap anak," kata pendamping hukum Tim Gabungan Aremania (TGA) Anjar Nawan Yusky.
Beriringan dengan penyidikan yang dilakukan polisi, Komnas HAM juga menyelidiki peristiwa itu dan menyimpulkan tragedi Kanjuruhan sebagai pelanggaran HAM.
Pemerintah juga membentuk tim gabungan independen pencari fakta (TGIPF) dan membuat konklusi senada dengan Komnas HAM. Gas air mata disebut jadi pemicu kekacauan yang terjadi di dalam stadion.
Sementara itu, berkas para tersangka juga sempat dipingpong antara Penyidik Polda Jatim dengan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim. Berkas perkara sampai dikembalikan tiga kali karena dinilai belum lengkap oleh jaksa.
Hari ini, Senin (16/1) berkas perkara Tragedi Kanjuruhan bakal disidangkan di Pengadilan Negeri Surabaya. Ratusan aparat kepolisian disiagakan untuk menjaga keamanan dan kondusifitas jalannya sidang.
Dapatkan warta harian terbaru lainya dengan mengikuti portal berita Djawanews dan akun Instagram Djawanews.