Djawanews.com – Tidak ada peraturan atau Undang-Undang (UU) yang mampu membahagiakan semua pihak, terlebih masyarakat Indonesia yang majemuk. Dari segi waktu, seluruh pihak setuju bahwa UU Cipta Kerja (Ciptaker) disahkan terlalu cepat.
Namun, segala sesuatu tak berwujud dari ruang kosong, pasti ada latar belakang dan motivasi di balik semua hal. Utamanya, UU ini barangkali disegerakan lantaran kondisi negara kita yang sedang tak normal, karena pandemi, misalnya.
Lalu dari klaster ketenagakerjaan, terkait hubungan pekerjaan, jangan hanya berdasarkan hubungan atas bawah: majikan dan buruh, tapi hubungan kemanusiaan. Sebaik apa pun suatu UU, jika tak mempertimbangkan sisi kemanusiaan, maka tidak akan mampu memuaskan seluruh pihak.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh anggota Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Dr. H. Hilmy Muhammad, M.A. saat Diskusi Publik Menimbang Urgensi RUU Omnibus Law Cipta Kerja: Untuk Rakyat atau Birokrat? yang diadakan oleh Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Kamis (05/11).
“Kita perlu sikap husnuzan. Jangan galak-galak terus. Ada baiknya jika kita memberikan edukasi kepada masyarakat, utamanya para pekerja, agar bersikap kritis tetapi tidak egois. Ada baiknya pula kita dorong para pekerja untuk mendoakan perusahaan akan lebih makmur, dan tentunya akan berimbas pada para pekerja itu sendiri,” jelas pria yang akrab disapa Gus Hilmy tersebut.
Sebelumnya, Gus Hilmy menyampaikan bahwa DPD RI hanya punya kewenangan memberikan pertimbangan kepada DPR, lalu DPR membahasnya bersama Pemerintah. Karena itu, DPD RI membahas dan mendiskusikannya dengan berbagai kalangan. Di bagian bidang ketenagakerjaan, DPD RI sudah berdiskusi dengan berbagai pihak dan pakar, yakni dengan Menteri Ketenagakerjaan RI.
Dari pembahasan itu, diketahui bahwa tujuan UU Ciptaker ini agar tercipta lapangan pekerjaan, meningkatkan investasi, dan efisiensi prosedur perizinan. Sedangkan dasarnya adalah kejelasan akad, hak dan kewajiban masing-masing pengusaha dan pekerja; sama-sama senang dan untung; serta menerapkan prinsip memberikan upah yang layak dan sebelum “keringat kering”.
“Oleh sebab itu, kita perlu menunggu Peraturan Pemerintah untuk teknis kelanjutannya. UU ini sudah diteken, dan yang perlu kita bicarakan adalah ke depannya nanti, bukan malah ke belakang. Dan kita semua juga perlu berhati-hati dengan hoaks yang beredar,” tutup Gus Hilmy menyudahi presentasinya.
Pernyataan ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Amin Subargus SKM., M.Kes, Kepala Bidang Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3 Disnakertrans DIY.
“Kami di Disnakertrans belum bisa berbuat banyak hal, karena tahapan kami bekerja adalah setelah ada Peraturan Pemerintah. Yang bisa kita lakukan sekarang adalah menunggu Peraturan Pemerintah itu. Yang menjadi tugas kami adalah memastikan pengusaha dan pekerja mematuhi semua yang tercantum dalam UU yang lama maupun yang baru kita bahas ini. Juga memastikan keselamatan para pekerja sesuai amanah UU,” ujarnya.
Dalam acara tersebut hadir pula Yogi Zul Fadhli, S.H., M.H. selaku Direktur LBH D.I. Yogyakarta dan Allan Fatchan Gani Wardhana, S.H., M.H. selaku Direktur Pusat Studi Hukum dan Konstitusi FH UII. Keduanya juga bersikap kritis dan sepakat bahwa UU Cipta Kerja banyak menyisakan pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan.
Untuk mendapat kabar tentang UU Cipta Kerja atau berita Jogja lainnya, kunjungi situs resmi Warta Harian Nasional Djawanews. Anda juga bisa mengikuti kami melalui akun media sosial Instagram @djawanewscom dan melalui aplikasi Babe. Hubungi kami untuk membagikan foto, video, artikel, dan berita lainnya.