Djawanews.com – Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Garut, Diah Kurniasari Gunawan ikut merasakan kekecewaan dan kemarahan para orangtua santriwati yang menjadi korban perkosaan Herry Wirawan (HW).
Dari 12 santriwati yang diperkosa HW, 11 di antaranya dari Garut, Jawa Barat. Mereka masih ada pertalian saudara serta bertetangga.
Diah sendiri berada di lokasi ketika para orang tua bertemu dengan santriwati yang sebelumnya dianggap tengah menuntut ilmu di pesantren ternyata telah memiliki anak setelah dicabuli guru ngajinya yang mereka percayai sebelumnya.
"Rasanya bagi mereka mungkin dunia ini kiamat, ada seorang bapak yang disodorkan anak usia 4 bulan oleh anaknya, enggak, semuanya nangis," kenang Diah, dikutip dari Kompas, Jumat, 10 Desember.
Para orang tua korban berat terima kenyataan. Peristiwa pilu itu terjadi saat Diah mengawal pertemuan para orangtua dengan anak-anaknya di kantor P2TP2A Bandung, setelah dibawa keluar dari lingkungan pondok pesantren oleh penyidik Polda Jabar.
Diah mengungkapkan kondisi yang sama juga terjadi di kantor P2TP2A Garut saat para orangtua yang tidak tahu anaknya menjadi korban pencabulan guru ngajinya diberi tahu kasus yang menimpa anaknya sebelum akhirnya mereka dipertemukan pertama kali di kantor P2TP2A Bandung sebelum dibawa ke P2TP2A Garut.
Selain berat menerima kenyataan, menurut Diah, para orangtua juga kebingungan membayangkan masa depan anak-anaknya dan lingkungan tempat tinggal anak yang dikhawatirkan tidak bisa menerima.
"Di kecamatan ini (lingkungan rumah korban), saya sampai datang beberapa kali nengok yang lahiran, ngurus sekolahnya, ketemu tokoh masyarakatnya," katanya.
Dalam kasus ini, tidak hanya para santriwati yang diberikan terapi psikologi tetapi juga para orang tua.
"Sama, kita semua juga marah pada pelaku setelah tahu ceritanya dari anak-anak, sangat keterlaluan, kita paham bagaimana marah dan kecewanya orangtua mereka," katanya.
Para Orang Tua Korban Berharap Sekolah Gratis di Pesantren
Diah mengatakan bahwa P2TP2A menawarkan berbagai solusi kepada anak-anak dan orang tuanya terkait posisi anak yang dilahirkan dari perbuatan cabul guru ngajinya. Bahkan, jika para orangtua tidak mau mengurusnya, P2TP2A siap menerima anak tersebut.
Hal itu karena keadaan ekonomi para orang tua tergolong tidak mampu. Kebanyakan dari mereka adalah buruh harian lepas, pedagang kecil, dan petani yang tadinya merasa mendapat keuntungan anaknya bisa nyantri sambil sekolah gratis di pesantren tersebut.
"Alhamdulillah, yang rasanya mereka (awalnya) tidak terima, namanya juga bayi, cucu darah daging mereka, akhirnya mereka rawat, walau saya menawarkan kalau ada yang tidak sanggup, saya siap membantu," katanya.