Djawanews.com – Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono memberikan tanggapan terkait namanya yang disinggung dalam film dokumenter Dirty Vote. Seperti diketahui film ini mengungkap dugaan kecurangan pemilu yang diduga terstruktur untuk memenangkan salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Dalam film tersebut, Heru Budi disebut sebagai salah satu penjabat kepala daerah yang diduga ditempatkan untuk mendukung pemenangan pasangan capres-cawapres yang didukung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) di wilayah kepemimpinannya.
Terkait hal itu, Heru Budi memberikan jawaban singkat. Ia mangaku tidak masalah dan mengucapkan terima kasih.
"Ya enggak apa-apa (namanya disebut dalam Dirty Vote). Terima kasih," kata Heru di Jakarta Selatan, Jumat, 16 Februari.
Dirty Vote merupakan film dokumenter eksplanatori yang mengungkap dugaan kecurangan pemilu yang dipaparkan oleh tiga pakar hukum tata negara, yakni Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar, dan Feri Amsari.
Ketiga ahli hukum ini menerangkan praktik nepotisme menggunakan instrumen kekuasaan dengan tujuan memenangkan Pemilu 2024 oleh para penguasa. Salah satunya adalah pemanfaatan kosongnya sejumlah posisi kepala daerah definitif yang habis masa jabatannya sampai Pilkada 2024 dengan Pj kepala daerah
Pakar hukum dalam film tersebut menduga Jokowi menempatkan Pj pada daerah yang strategis untuk dipimpin orang-orang yang bisa dikendalikan. Nama Heru pun disinggung lantaran dia merupakan pejabat Istana.
Orang-orang di lingkaran Istana lainnya yang disinggung dalam film itu adalah Pj Gubernur Jawa Barat Bey Triadi Machmudin. Bey menjabat sebagai Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden sebelum menjabat pj hingga saat ini.
Kasus-kasus nepotisme yang ditanggapi Bivitri, Zainal Arifin, dan Feri di film ini dibeberkan lewat dokumen foto, video, maupun potongan berita. Bentuk-bentuk kecurangannya diurai dengan analisa hukum tata negara.
Menurut Bivitri, film Dirty Vote adalah sebuah rekaman sejarah tentang rusaknya demokrasi negara ini pada suatu saat, di mana kekuasaan disalahgunakan secara begitu terbuka oleh orang-orang yang dipilih melalui demokrasi itu sendiri.
“Bercerita tentang dua hal. Pertama, tentang demokrasi yang tak bisa dimaknai sebatas terlaksananya pemilu, tapi bagaimana pemilu berlangsung. Bukan hanya hasil penghitungan suara, tetapi apakah keseluruhan proses pemilu dilaksanakan dengan adil dan sesuai nilai-nilai konstitusi. Kedua, tentang kekuasaan yang disalahgunakan karena nepotisme yang haram hukumnya dalam negara hukum yang demokratis,” urai Bivitri dalam keterangannya, Minggu, 11 Februari.
Melanjutkan, Feri menegaskan bahwa film Dirty Vote memberi pesan pengingat kepada rezim bahwa kekuasaan negara ada batasnya. Menurutnya, membiarkan kecurangan merusak pemilu sama saja merusak bangsa ini.
"Tidak pernah ada kekuasaan yang abadi. Sebaik-baiknya kekuasaan adalah, meski masa berkuasa pendek, tapi bekerja demi rakyat. Seburuk-buruknya kekuasaan adalah yang hanya memikirkan diri dan keluarganya dengan memperpanjang kuasanya,” jelas Feri.
Dokumenter Dirty Vote disutradarai oleh Dandhy Dwi Laksono. Ini merupakan film keempat yang disutradarainya mengambil momentum pemilu.