Resmi, Ibu Kota Pindah Kalimantan. Hal tersebut ternyata juga sudah diwacanakan oleh Pramoedya Ananta Toer jauh sebelum Jokowi.
Beberapa waktu yang lalu Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan lokasi pemindahan ibu kota baru. Ibu kota pindah Kalimantan, tepatnya di Kalimantan Timur!
Wacana Lama Ibu Kota Pindah Kalimantan
Wacana pemindahan ibu kota ke Kalimantan bukanlah hal baru—bahkan sejak era Presiden Soekarno sudah ada wacana tersebut. Tidak hanya Soekarno dan Jokowi yang berkeinginan agar ibu kota pindah Kalimantan, Pramoedya Ananta Toer juga!
Sebagaimana artikel yang ditulis Hasan Aspahani di Indonesiana.id, Pramoedya Ananta Tooer yang merupakan sastrawan Indonesia golongan kiri di pemerintahan orde baru tersebut adalah salah satu orang yang ingin ibu kota pindah, agar tidak “Jawa Sentris” tulisnya.
Sebagaimana diketahui, Pram (panggilan untuk Pramoedya) adalah sastrawan yang diasingkan oleh pemerintahan Orde Baru, lantaran keterlibatannya dalam Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat)—sayap organisasi di bidang seni dan budaya Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sejak tahun 1965—1974, Pram diasingkan di Pulau Buru, yang kemudian memunculkan tulisan memoarnya yang berjudul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, yang di dalamnya juga terdapat wacana pemindahan ibukota ke Kalimantan.
Wacana pemindahan ibu kota ke Kalimantan yang ditulis Pram tidak lepas dari kritik yang dilakukannya pada kebijakan transmigrasi pemerintah Orde Baru. Meskipun Pram mengeluhkan kepadatan penduduk di Pulau Jawa, dirinya tidak setuju dengan transmigrasi, alasannya dalam praktiknya tranmigrasi tidaklah manusiawi.
Pram beranggapan jika program transmigrasi adalah pembuangan orang-orang yang sudah tidak mampu mencari penghidupan di Jawa. Memang para transmigran waktu dikirimkan untuk membuka lahan di wilayah baru, yang masih minim sarana dan infrastruktur.
Menurut Pram, ada yang salah dengan Indonesia yaitu tentang Java Centris-isme atau kebijakan yang terpusat di Jawa, yang merupakan warisan kolonial yang tetap dilestarikan.
Akibat Java centris, membuat Jawa memikul beban berat lantaran wilayahnya hanya sebagian kecil dari Indonesia, sedang harus menampung separuh lebih penduduk Indonesia.
Jawa yang memiliki kelebihan beban, kemudian berdampak pada kondisi ekologis-demografis dan ekomoninya, sehingga, menurut Pram diperlukan sikap yang revolusioner untuk mengatasi hal tersebut.
Melalui memoarnya Pram menuliskan jika ibu kota pindah ke Kalimantan maka pikiran java sentris akan hilang, sebagaimana yang ditulisnya berikut.
“Bukan hanya membuka kemungkinan baru, juga akan membuka dimensi baru, meninggalkan kesempitan ruang, pandangan dan sikap jiwa yang sempit, dan menggantikannya dengan yang lebih besar dan luas,”
Hasan Aspahani—yang sangat mendukung pikiran Pram—tidak ada salahnya, karena cara revolusioner Pram tersebut adalah yang paling cespleng dalam menghadapi kepadatan Jawa.
Masyarakat Jawa yang sudah dari nenek moyangnya serba tercukupi—sebagaimana pengetahuan umum jika masyarakat Jawa dengan kebutuhan pangan yang seakan tidak ada habisnya—kini sudah waktunya melakukan migrasi.
Warisan bercocok tani di Jawa yang sudah semakin ditinggalkan, maka membuat masyarakatnya harus migrasi ke daerah lain untuk memenuhi kebutuhan ekonominya.
Sehingga, kebijakan ibu kota pindah Kalimantan tidak hanya berfungsi semata-mata sebagai pemerataan wilayah, namun juga solusi dari permasalahan di masyarakat Jawa sendiri pada khususnya.