Djawanews.com – Seorang politisi sayap kanan di Eropa memanfaatkan situasi konflik Rusia-Ukraina untuk mendiskriminasi pengungsi dari Ukraina yang berasal dari Timur Tengah serta negara-negara muslim lain.
Vox Santiago Abascal, seorang anggota kongres serta pemimpin sayap kanan Spanyol menyatakan bahwa, Spanyol tentu akan menyambut para pengungsi Ukraina, kecuali untuk mereka yang berasal dari negara mayoritas muslim.
“Siapapun dapat membedakan antara mereka (pengungsi Ukraina) dengan pemuda dari negara muslim yang pergi ke perbatasan Eropa untuk mengacau dan menjajahnya,” ucapnya pada parlemen, dikutip dari laman Middle East Eye, Rabu 9 Maret.
Tidak jauh berbeda dengan Abascal, Presiden Rumen Radev di Bulgaria mengasosiasikan pengungsi dari luar Eropa ini dengan teroris dan pelaku kriminal.
Radev mengatakan pada wartawan bahwa pengungsi dari negara muslim ini tidak diketahui identitasnya serta memiliki masa lalu yang tidak jelas. Ia juga menambahkan bahwa bisa saja pengungsi ini adalah teroris.
Tak hanya dari Bulgaria dan Spanyol, diskriminasi juga datang dari politisi asal Denmark, Marcus Knuth. Pada sebuah postingan di Twitter-nya ia memposting gambar sebuah dokumen yang menunjukan jumlah warga negara Timur Tengah seperti Irak, Suriah, Iran, dan Afghanistan yang akan mengungsi.
“Kami tentu akan membantu semua warga Ukraina, tapi kami menolak untuk 2.300 warga Afghanistan dan Suriah serta 10.000 lebih dari Timur Tengah,” ucap Knuth pada 5 Maret 2022 lalu.
Sebelumnya konflik di Ukraina memang telah mendapatkan banyak kritik akibat standar gandar serta diskriminasi. Beberapa media juga dikecam karena dianggap menggunakan perbandingan yang rasis saat memberitakan pengungsi asal Ukraina dan mereka yang berasal dari Timur Tengah.
Mengacu pada laman Middle East Eye, sejauh ini sejumlah negara-negara Eropa telah bersedia menampung para pengungsi Ukraina. Polandia menampung sekitar 1 juta pengungsi, 180.000 di Hungaria, 128.000 di Slovakia, 83.000 di Moldova serta 79.000 di Rumania.
PBB menyebut bahwa situasi ini merupakan krisis pengungsi yang pertumbuhannya paling cepat sejak perang dunia II.