Djawanews.com – Tim Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) mengungkapkan sekitar 23.800 aparatur sipil negara (ASN) ternyata menerima bantuan sosial (bansos) dari Kementerian Sosial. Data tersebut didapat dari pemadanan data dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Koordinator Pelaksana Stranas PK Pahala Nainggolan mengaskan puluhan ribu ASN tersebut harusnya tak boleh menerima bansos.
"Ternyata kami temukan sekitar 23.800 itu memiliki pekerjaan sebagai ASN," kata Pahala seperti dikutip pada Rabu, 6 September.
Stranas PK kemudian mengungkap ada tiga provinsi dengan ASN penerima bansos terbanyak. Pertama adalah Jawa Barat dengan jumlah 3.539 orang.
Kemudian di posisi kedua adalah Jawa Tengah 3.178. Terakhir adalah Jawa Timur dengan jumlah ASN yang menerima bansos mencapai 2.396 orang.
Bukan hanya ASN, Stranas PK juga mengungkap ada penerima gaji di atas batas minimal yang menerima bantuan dari pemerintah. Totalnya mencapai 493.000 orang.
Adapun daerah penerima bansos yang sebenarnya punya gaji di atas batas terbesar adalah Jawa Barat mencapai 140.000 orang; Jawa Tengah sekitar 85.000; dan Jawa Timur sekitar 30.000 ribu orang. Jika digabung antara ASN dan penerima gaji maka ada ratusan miliar rupiah bansos yang tersalur bukan ke target setiap pekan.
"Khusus untuk ASN dan yang penerima upah itu kami estimasi Rp140 miliar per bulan itu sebenarnya enggak tepat kasihnya," tegas Pahala.
Kondisi ini membuat Stranas PK berharap daerah segera memperbaiki temuan ini begitu juga dengan Kementerian Sosial (Kemensos). "Kita harus perbaiki DTKS supaya tepat bansosnya," ungkapnya.
"Kalau yang NIK (nomor induk kependudukan) sudah hampir enggak masalah karena semua padan dengan NIK. Tapi yang ini, orang miskin enggak dapat, orang kaya malah dapat. Itu saja penyakit bansos," sambungnya.
Sementara itu, Menteri Sosial Tri Rismaharini mengatakan adanya ASN yang menerima bansos bisa saja terjadi karena adanya perubahan status pekerjaan. Tapi, sayangnya proses tersebut kerap tak terdata.
Sehingga, Kemensos kini terus memperbarui data mereka terkait penerima manfaat bantuan. "Saya per bulan sekarang (melakukan pengecekan, red)," tegas Risma.
"Karena kalau undang-undang per dua tahun itu sudah terlambat. Bahkan, saya enam bulan sekali sudah terlambat. Maka sekarang tiap bulan perbaikannya," pungkasnya.