Djawanews.com – Ketua DPP PDI Perjuangan, Deddy Yevry Sitorus mananggapi rencana pemanggilan anggota DPR dari fraksinya, Rieke Diah Pitaloka oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI atas dugaan memprovokasi publik menolak kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen.
Deddy menilai langkah MKD tersebut dapat mempengaruhi peran kritis DPR dan berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga legislatif.
"DPR adalah lembaga yang menjalankan fungsi check and balances terhadap pengelolaan kekuasaan pemerintahan. Fungsi pengawasan itu dijalankan dan dimanifestasikan oleh Anggota DPR," terang Deddy dalam keterangan yang diterima ERA, Senin 30 Desember.
Kata Deddy, seharusnya yang dipermasalahkan adalah kalau Anggota DPR itu abai, kebal terhadap tugas dan aspirasi masyarakat. Sementara yang mesti diperiksa adalah Anggota DPR yang cuma datang, duduk, diam.
"Parlemen itu asal katanya 'parle', artinya 'berbicara'. Kalau Anggota DPR tidak bersuara, untuk apa rakyat membayar gajinya yang berasal dari APBN itu?"
"Seharusnya MKD itu dibuat untuk melindungi kebebasan Anggota DPR berbicara, bukan untuk mengekang atau menghukum. Sangat berbahaya bagi DPR jika MKD dipakai sebagai sarana untuk menggunting lidah para anggotanya," tuturnya.
Deddy pun khawatir saat sikap kritis anggota dewan dinilai sebagai kejahatan lewat "pengaduan masyarakat", maka lembaga DPR berpotensi cuma jadi stempel kekuasaan, yang bertentangan dengan alasan DPR membuat lembaga MKD.
Sebelumnya, Rieke menyampaikan interupsi saat Rapat Paripurna DPR RI di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis (5/12), untuk meminta pembatalan wacana kenaikan PPN menjadi 12 persen pada tahun 2025.
"Saya merekomendasikan di rapat paripurna ini, mendukung Presiden RI Prabowo, pertama, menunda atau bahkan membatalkan rencana kenaikan PPN 12 persen sesuai dengan amanat Pasal 7 ayat (3) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021," kata dia.
Di samping itu, dia juga meminta Pemerintah menerapkan self assessment monitoring system (sistem pemantauan penilaian mandiri) dalam tata kelola perpajakan.
Rieke mengingatkan bahwa berdasarkan amanat Pasal 7 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), PPN dapat diubah bukan hanya paling tinggi menjadi 15 persen, melainkan bisa juga diubah paling rendah menjadi 5 persen.
Untuk itu, dia menilai keputusan naik tidaknya PPN harus mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya.
Wakil rakyat ini mengingatkan pula bahwa persoalan fiskal dan moneter dari kehidupan masyarakat sedang tidak baik-baik saja. Pasalnya, pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dan deflasi selama 5 bulan yang terjadi harus diwaspadai berdampak pada krisis ekonomi hingga kenaikan harga kebutuhan pokok.
Video interupsinya saat rapat yang menolak kebijakan kenaikan PPN 12 persen itu juga diunggah di akun media sosial Instagram pribadinya @riekediahp dengan tagar #ViralForJustice dan #TolakKenaikanPPN22% pada Kamis (5/12). Meski demikian, MKD DPR RI tidak melampirkan keterangan konten terkait penolakan PPN 12 persen mana yang dilaporkan oleh pengadu.