Djawanews.com – Pemerintah Indonesia akan melarang ekspor minyak goreng dan bahan bakunya yang berlaku mulai Kamis, 28 April 2022. Terkait hal itu, Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai, larangan ekspor tersebut akan menguntungkan negara tetangga Malaysia.
Pasalnya, Malaysia merupakan negara pesaing Indonesia dalam hal ekspor Crude Palm Oil (CPO) di pasar Internasional.
“Pelarangan ekspor juga akan untungkan Malaysia, sekaligus negara lain yang produksi minyak nabati alternatif seperti soybean oil, rapeseed oil dan sunflower oil yakni AS dan negara di Eropa,” ujar Bhima, dikutip dari VIVA, Selasa, 26 April.
Menurut Bima, jika Pemerintah ingin memenuhi kebutuhan nasional, seharusnya cukup dengan mengembalikan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) 20 persen.
“Kemarin saat ada DMO kan isu-nya soal kepatuhan produsen yang berakibat pada skandal gratifikasi. Pasokan 20 persen dari total ekspor CPO untuk kebutuhan minyak goreng lebih dari cukup,” terangnya.
Adapun hal itu sebab estimasi produksi CPO setahun sebesar 50 juta ton. Sementara untuk penggunaan minyak goreng nasional hanya 5-6 juta ton atau 10 persen.
“Sisa-nya mau disalurkan kemana kalau stop ekspor? Kapasitas industri di dalam negeri tidak sanggup menyerap kelebihan pasokan CPO,” ungkapnya.
“Sekali lagi tidak tepat apabila pelarangan total ekspor dilakukan. Selama ini problem ada pada sisi produsen dan distributor yang pengawasannya lemah,” lanjutnya.
Bhima menerangkan, harga minyak goreng belum tentu secara otomatis turun dengan adanya kebijakan pelarangan ekspor tersebut, bila tidak dibarengi dengan kebijakan harga eceran tertinggi (HET).
Selain itu, larangan ekspor juga akan merugikan petani karena anjloknya harga tandan buah segar (TBS) di level petani.
Bhima mengatakan bahwa jika Pemerintah melakukan pelarangan ekspor selama satu bulan penuh di Mei maka diasumsikan, Indonesia akan kehilangan devisa sebesar US$3 miliar atau Rp43 triliun. Di mana angka tersebut setara dengan 12 persen total ekspor non migas.
“Ini bisa ganggu stabilitas rupiah juga karena devisa ekspornya terganggu. Tolong pak Jokowi pikirkan kembali kebijakan yang tidak solutif ini,” ujarnya.
Lebih lanjut, Bhima menjelaskan, larangan ekspor CPO yang dilakukan presiden merupakan kebijakan pro petani luar.
“Petani penghasil alternatif kelapa sawit seperti petani kedelai di AS sedang happy mendengar kabar pelarangan ekspor CPO Indonesia. Petani di Indonesia, pasti turun harga TBS. Ini kebijakan yang pro petani di luar negeri,” tegasnya.