Djawanews.com – Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional Walhi, mengungkapkan ada kesesatan berpikir negara dalam melihat masyarakat dan wilayah adat. Terlebih ketika berulang kali membantu perusahaan melalui aparat keamanan menyingkirkan warga yang berjuang menjaga lingkungan.
“Negara memberikan izin legal kepada perusahaan untuk beroperasi, tapi hak-hak masyarakat dan wilayah adat tidak diakui negara padahal mereka yang menempati wilayah adat itu,” kata Nur Hidayati dikutip dari BBC.
“Akibatnya terjadi legalisasi tindakan “perampokan” oleh pengusaha di wilayah adat. Ibaratnya, “rumah kita dimasuki pencuri, terus kita melawan pencuri, tapi yang masuk penjara kita karena melawan pencuri tersebut. Ini kesesatan berpikir. Tidak bisa hanya dilihat dari legal formal, perusahaan punya izin jadi bisa apa saja, dan masyarakat adat harus setuju, tidak bisa,” lanjutnya.
“Masyarakat selalu di posisi dirugikan, dituduh mencuri, menghalang-halangi, padahal mereka telah dirampok habis-habisan, dibiarkan menderita, bahkan dipenjara. Dan perampokan ini dilegalkan oleh pemerintah sehingga pengusaha bisa berbuat semaunya di wilayah adat,” katanya.
Pernyataan keras Nur Hidayati tersebut menanggapi penangkapan Effendi Buhing, Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan, Kabupaten Lamandau, Kalteng, oleh aparat pada Rabu (26/8/2020) lalu.
Effendi Buhing ditangkap secara paksa oleh aparat dari kediamannya karena diduga melakukan pencurian, pemaksaan dan perampasan alat PT Sawit Mandiri Lestari (SML).
Selain Effendi, Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) melaporkan terdapat lima warga adat yang dikriminalisasi yaitu Riswan, Yefli Desem, Yusa (tetua adat), Muhammad Ridwan dan Embang.
Untuk mengetahui ragam perkembangan peristiwa regional, nasional dan mancanegara terupdate, ikuti terus rubrik Berita Hari ini di Djawanews.