Ibu kota pindah ke luar Jawa, pengumuman resmi akan disampaikan pada tanggal 16 Agustus 2019.
Wacana ibu kota pindah ke luar Jawa ternyata bukan hanya sekadar wacana saja. Kali ini Presiden Joko Widodo benar-benar serius untuk memindahkan ibu kota, dari Jakarta menuju salah satu kota di Luar Jawa.
Meskipun belum dapat dipastikan daerah mana yang akan jadi tujuan perpindahan, Jokowi akan mengumumkan lokasi pemindahan ibu kota baru pada tanggal 16 Agustus, sehari sebelum peringatan kemerdekaan.
Wacana perpindahan ibu kota bukan hanya sekali terjadi, sebagaimana Djawanews pernah mengulasnya dalam artikel yang berjudul “Berikut Ini Sejarah Pemindahan Ibu Kota Indonesia”.
Perpindahan ibu kota Indonesia tidak hanya terjadi sekali dua kali. Namun beberapa kali. Pada zaman kerajaan pun perpindahan pusat pemerintahan pernah dilakukan. Berbagai alasan mendasari perpindahan tersebut.
Masa depan ibu kota pindah, masa lalu kerajaan bergeser
Beberapa kerajaan di Nusantara tercatat pernah memindahkan pusat pemerintahannya. Untuk memelajari motif dan mengambil pelajaran, ada baiknya menelusuri sejarah tersebut.
- Era Mataram Kuno
Salah satu kasus perpindahan pusat pemerintahan adalah di era Mataram Kuno. Ibu kota Mataram Kuno, Medang,tercatat pernah dipindahkan sebanyak dua kali. Hal ini tercatat dalam Prasasti Siwagraha (778 Saka/856 M) dan Prasasti Mantyasih I (829 Saka/907 M). Dalam prasasti tersebut disebutkan bahwa Mamratipura dan Poh Pitu sempat mejadi ibu kota.
Dalam Prasasti Siwagraha, disebutkan bahwa Dyah Lokapala menobatkan Keraton Medang di Mamaratipura sebagai ibu kota pada pada 778 Saka. Berbeda dengan Prasasti Mantyasih I, yang menceritakanada seorang raja pada masa lalu yang tinggal di Keraton Medang di Poh Pitu.
- Era Kahuripan
Airlangga sebagai pendiri Kerajaan Kahuripan juga pernah memindahkan kerajaannya. Pemindahan dilakukan sebanyak dua kali. Seperti yang dilansir dari Historia.id, ibu kota pertama kerajaan Kahuripan dibangun saat Airlangga dinobatkan menjadi raja pertama kali. Lokasi ibu kota tersebut berada di Wwatan Mas. Sejarah ini tercatat dalam Prasasti Cane (943 Saka/1021 M). Dalam Prasasti Kamalagyan (959 Saka/1037 M), Kahuripan dikatakan sebagai lokasi keraton Airlangga.
Airlangga menikah dengan putri pamannya yaitu Dharmawangsa Teguh (saudara Mahendradatta) di Wwatan, ibu kota Kerajaan Medang. Namun saat pesta pernikahan, tiba-tiba kota Wwatan diserbu Raja Wurawari yang berasal dari Lwaram.
Karena penyerangan tersebut, Airlangga melarikan diri ke hutan. Ia hidup bertapa di hutan dengan ditemani oleh pembantunya. Setelah tiga tahun berjalan, Airlangga didatangi oleh salah satu utusan rakyatnya. Utusan tersebut meminta Airlangga untuk membangun kerajaan lagi. Namun tidak ke Wwatan, Airlangga membangun ibu kota baru bernama Watan Mas di dekat Gunung Penanggungan.
- Majapahit
Salah satu kerajaan terbesar yang pernah ada di Nusantara adalah Majapahit. Dengan kompleksitas dan daerah kekuasaan yang luas, kemungkinan Majapahit juta pernah memindahkan pusat kerajaannya.
Wijaya,penguasa pertamanya, membangun kerajaan di Tarik atau Trik yang ada di delta Sungai Brantas(timur Mojokerto). Beberapa naskah memberikan bukti adanya kerajaan di Tarik. Peninggalan Majapahit memang tidak terlalu banyak. Namun belum lama ini, arkeolog menemukan bekas bangunan bata, fosil kayu, dan hewan di areal persawahan dan makam di Dusun Kedungklinter, Desa Kedungbocok, Kecamatan Tarik, Sidoarjo. Diduga situs ini merupakan cikal-bakal Kerajaan Majapahit.
- Mataram Islam
Di era Kerajaan Mataram Islam, perpindahan ibu kota juga pernah terjadi. Saat itu Ki Ageng Pamanahan membangun kawasan permukiman di Kuta Gede, kini Kota Gede, Yogyakarta. Setelah itu, sang anak, Panembahan Senapati, penguasa pertama Mataram justru membangun tembok di sekeliling permukiman tersebut.
Tidak berhenti, Cucu Panembahan Senapati, Sultan Agung, juga membangun keraton baru di Karta. Lalu anak dan pewaris takhta selanjutnya memutuskan untuk memindahkan lokasi keraton ke Pleret, Yogyakarta.
Tahun1677, ibu kota baru tersebut diserang pasukan Trunajaya. Penyerangan itu yang kemudian membuat Amangkurat melarikan diri ke barat dan tewas di Tegalarum. Setelah serangan reda, ibu kota baru dibangun. Namun bukan berada di wilayah yang sama. Ibu kota pindah ke Wanakarta atau yang kini disebut dengan Kartasura.
Ibu Kota Resmi Pindah Kalimantan, Bagaimana Nasib Jakarta?
Rencana pemerintah untuk memindahkan Ibu kota negara ke Kalimantan mulai terlihat jelas. Hal tersebut diketahui setelah Presiden Jokowi berencana melakukan pengumumkan terhadap kota yang dipilih menjadi ibu kota baru pada 16 Agustus 2019. Jika Ibu kota pindah ke Kalimantan, bagaimana nasib Jakarta?
- Menjadi Pusat Kegiatan Ekonomi
Deputi Bidang Pengemmbangan Regional Bappenas, Rudy Soeprihadi Prawiradinata mengatakan Kota Jakarta akan tetap menjadi pusat kegiatan ekonomi, meski Ibu kota pindah ke Kalimantan.
Pasalnya sejumlah kantor pusat keekonomian masih bakal bernaung di Jakarta. Sebut saja Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan hingga Badan Koordinasi Penanaman Modal masih tetap di Jakarta.
Sama halnya dengan Australia yang pernah melakukan pemindahan Ibu Kota dari Sydney ke Canberra. Saat ini, Sydney tetap menjadi kota yang berfungsi sebagai roda penggerak utama ekonomi. Begitu pula yang terjadi di Brasil dan Amerika Serikat.
- Tingkat Kepadatan Penduduk Berkurang
Selain itu, Pemindahan Ibu kota akan berdampak besar bagi Jakarta, khususnya terhadap tingkat kepadatan penduduk Jakarta. Hal ini dikarenakan ada 1,5 juta aparatur sipil negara (ASN) termasuk keluarganya yang biasa beraktivitas di Jakarta akan pindah ke Ibu kota baru.
- Revisi Tata Ruang
Perpindahan Ibu Kota ke Kalimantan tentu saja memmberikan kesempatan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk melakukan revisi tata ruang.
Pasalnya, selama ini Jakarta memiliki pola dan struktur ruang yang terpusat. Keberadaan pemerintah pusat di tengah Kota Jakarta membuat kota ini dikepung oleh pusat bisnis sekaligus pusat pemukiman. Hal tersebutlah yang selama ini menimbulkan kepadatan dan kemacetan kota Jakarta.
- Pemprov DKI Jakarta Dituntut Untuk Mandiri
Perpindahan Ibu Kota ke Kalimantan bagi Jakarta berimbas pada Pemprov DKI Jakarta yang dituntut untuk mandiri.
Pemprov DKI Jakarta harus bisa menjamin pelayanan dan perhatian terhadap persoalan di DKI Jakarta menjadi prioritas meski tanpa peran pemerintah pusat. Seperti halnya Kali Ciliwung yang ditangani Kementerian PUPR, jika ibu kota pindah mungkin saja kali ciliwung tidak jadi prioritas lagi.
Dari segala kemungkinan tersebut, pada intinya beban kota di Jakarta dan kepadatan sudah jelas akan berkurang. Akan tetapi, kelanjutan dari pengembangan kota Jakarta saat ini ada di tangan Pemerintah Provinsi Jakarta.
Jadi intinya ada di Pemprov DKI, mau jadi apa Jakarta nanti itu tergantung dari revisi tata ruang yang dilakukan Pemprov DKI.
Wajah Kota Baru Borneo
Kalimantan atau Borneo merupakan salah satu pulau terbesar di dunia yang hingga kini masih menjadi suplai oksigen terbesar. Lantas, apa yang terjadi jika Kalimantan menjadi ibu kota negara? Akankah alamnya rusak?
Beberapa waktu yang lalu, pemerintah melalui Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) menegaskan pemindahan ibu kota ke Kalimantan harus diupayakan pembangunan forest city, namun tidak menutup kemungkinan menimbulkan permasalahan baru.
Hal yang perlu dilakukan pemerintah adalah pengawasan ketat terhadap segala dampak dan resiko dari pembangunan kota baru. Konsep forest city sebaiknya dilakukan tidak hanya dengan menjadikan ibu kota baru hijau dan lestari alamnya, namun juga mempertimbangkan berbagai eksploitasi di dalamnya.
Meskipun sudah menjadi rahasia umum, jika kondisi alam Kalimantan sekarang ini—yang nampak masih lestari dan sebagai “paru-paru dunia”—sudah tereksploitasi. Sehingga pemindahan ibu kota dapat dilihat sebagai dua sisi koin, ada positif dan negatifnya.
Pertama, dengan asumsi jika Kalimantan yang saat ini rusak secara pelahan lantaran jauh dari pengawasan (terutama pemerintah), dengan pindahnya ibu kota ke membuat Kalimantan berbenah dan bebas dari berbagai perusakan.
Kedua, dari sisi negatif. Meskipun pemerintah sudah menjamin pembangunan forest city namun pembentukan kota baru di luar Jawa masih dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan alam.
Terkait dengan asumsi yang kedua, hal tersebut adalah faktor resiko. Forest city yang dijanjikan pemerintah, maka perlu untuk dilakukan pengawasan. Siapa yang mengawasi?
Ketika Kalimantan terbuka, maka pengawasan akan dengan mudah dilakukan siapa saja, kapan pun, di mana pun. Sehingga berbagai hal yang sebelumnya tidak diketahui dari Kalimantan—karena keterbatasan akses dan informasi—menjadi lebih trasnparan lantaran jadi pusat pemerintahan.
Kemudian, berdasarkan track record pemerintahan Joko Widodo, pembangunan di luar Jawa adalah prioritas utama. Jadi, pemindahan Ibukota pada pemerintahan Jokowi kali ini adalah langkah yang sebenarnya sudah direncanakan selama periode sebelumnya—melalui berbagai pembangunan infratruktur di luar Jawa.
Perlu diketahui dan diingat, Jokowi dalam pidatonya setelah ditetapkan menjadi presiden adalah memberikan prioritas terhadap berbagai investasi yang masuk. Saat ini sudah banyak investor yang merencanakan pembangunan seperti, pembangkit listrik tenaga nuklir, mobil listrik, dan berbagai sarana prasarana lainnya.
Berbagai sarana penunjang tersebut, positifnya akan membuat laju ekonomi daerah di luar Jawa berkembang. Apalagi dari sektor geografisnya, Kalimantan berada di tengah-tengah Indonesia, sehingga dimungkinkan daerah-daerah di sekitarnya—yang selama ini dianggap terbelakang—menjadi berkembang dan maju.
Ibu kota pindah, dana yang dibutuhkan besar pula. Lalu arus globalisasi sudah tidak terbendung lagi. Maka, sudah seharusnya Indonesia—terutama melalui sumber daya manusianya—harus sudah lebih siap untuk bersaing dan berbaur dalam arus global ini.