YOGYAKARTA - Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq menyebut sektor energi Indonesia tidak akan mencapai puncak emisi pada 2030. Dalam dokumen Second NDC, prakiraan menunjukkan puncak justru baru terjadi pada 2038. Padahal, target nasional menuntut puncak emisi jatuh pada 2030 demi menuju Net Zero Emission (NZE) 2060.
Kondisi ini membuat sektor Forestry, Land, and Other Use (FOLU) harus mengambil peran lebih besar. Pemerintah menghitung kontribusi FOLU bisa mencapai 60% dari total penurunan emisi karbon. Dengan strategi itu, Indonesia tetap memiliki peluang menekan laju emisi sambil menunggu sektor energi bertransformasi.
Ramalan Sektor Energi 2030: APBN Tak Cukup Biayai Transisi Hijau
Namun, beban biaya menjadi persoalan serius. Pendanaan FOLU diperkirakan mencapai Rp400 triliun, jauh lebih kecil dibandingkan sektor energi yang butuh hingga Rp4.000 triliun. Artinya, strategi ini dianggap lebih realistis dalam jangka pendek, meski tetap menuntut dukungan penuh dari pendanaan non-APBN.
Untuk menutup kesenjangan biaya, pemerintah mulai menggenjot nilai ekonomi karbon. Pasar karbon domestik maupun internasional disiapkan agar kredit karbon Indonesia dapat diperjualbelikan secara luas. Kerja sama dengan lembaga global seperti Gold Standard dan GCC pun sudah dijajaki.
Selain pendanaan, komunikasi lintas sektor juga menjadi kunci. Pemerintah perlu melibatkan swasta, akademisi, dan masyarakat sipil untuk mempercepat transisi energi. Tanpa partisipasi semua pihak, Ramalan Sektor Energi 2030 berisiko meleset jauh dari target.
Ramalan Sektor Energi 2030 menunjukkan Indonesia menghadapi tantangan berat menekan emisi tepat waktu. Dengan keterlambatan puncak emisi di sektor energi, FOLU menjadi penopang utama. Dukungan pendanaan, pasar karbon, serta sinergi lintas sektor menjadi syarat mutlak agar target iklim nasional tidak hanya sekadar wacana.
Demikian informasi seputar ramalan sektor energi 2030. Untuk berita ekonomi, bisnis dan investasi terkini lainnya hanya di Djawanews.com.