Djawanews.com – Wajib PCR sebagai syarat menggunakan jasa transportasi udara memperoleh pro dan kontra. Beberapa orang mengklaim bahwa kebijakan ini ampuh dalam mengatasi COVID-19. Tetapi juga ada yang berpendapat jika kebijakan ini justru memberatkan, baik dalam segi ekonomi maupun masih ada keraguan dalam efektivitasnya, bahkan kebijakan ini juga dicap inkonsisten karena tidak berlaku pada transportasi darat. Pro Juru bicara Satgas Penanganan COVID-19 Prof Wiku Adisasmito menjelaskan tes PCR digunakan karena merupakan metode testing yang paling sensitif. "PCR sebagai metode testing yang lebih sensitif dapat mendeteksi orang terinfeksi lebih baik daripada rapid antigen, sehingga potensi orang terdeteksi untuk lolos dan menulari orang lain dalam setting kapasitas yang padat dapat diminimalisir," ujar Wiku 22 Oktober. Wiku mengatakan syarat tes PCR diberlakukan mengingat tidak lagi diterapkannya seat distancing di dalam pesawat, sehingga diperlukan adanya screening test yang lebih akurat. "Kapasitasnya dinaikkan dari 70 persen menjadi 100 persen. Maka, untuk memastikan mereka yang bepergian dalam keadaan sehat, dipastikan dengan screening test yang lebih akurat," kata Wiku. Kontra Peraturan wajib PCR sebagai syarat naik pesawat tertuang dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 53 tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 3, 2, dan 1 COVID-19 di Jawa-Bali. Dalam peraturan disebutkan, calon penumpang pesawat wajib menyertakan tes reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) yang mulai berlaku pada 24 Oktober. Dr Masdalina Pane dari Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) menilai, aturan wajib tes PCR saat naik pesawat tidak konsisten karena tidak berlaku untuk transportasi darat. Ia mempertanyakan efektivitasnya, jika tujuannya untuk membatasi mobilitas. "Jika tujuannya untuk menekan mobilitas menjelang Natal dan Tahun Baru, tentu hal ini tidak tepat. Karena kepentingan mobilisasi tidak terkait jenis tes," terang ahli epidemiologi dari Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI), Dr Masdalina Pane 24 Oktober. Sebaliknya, ia menilai risiko penularan justru lebih tinggi pada transportasi darat seperti bus dan kereta api karena durasi perjalanannya lebih lama. Sementara dalam aturan yang berlaku, transportasi darat cukup mewajibkan tes antigen. "Bahkan pelaku usaha seperti supir bus, truk, bisa berlaku selama 14 hari. Pertanyaannya, apa makna tes pada pelaku perjalanan pada teknik pengendalian?" pungkasnya. Sementara, dr Tirta melalui akun Twitter-nya, @tirta_cipeng, mendorong agar swab PCR menjadi alat diagnosis dan screening hanya menggunakan swab antigen. Sebab, kata dia, penularan corona di pesawat itu rendah. "Kembalikan fungsi swab PCR menjadi alat diagnosa. Cukup screening antigen saja. Karena agak aneh aja, kenapa hanya naik pesawat yang diwajibkan swab PCR. Padahal sudah beberapa sumber ilmiah yang menekankan justru penularan di pesawat itu paling rendah," tulis dr Tirta 23 Oktober. Ingin tahu informasi lainnya? Pantau terus Djawanews dan ikuti akun Instagram milik Djawanews |