Mahfud MD menanggapi peluang Prabowo-Sandi pada sidang sengketa Pemilu Presiden 2019 di MK.
Mantan Ketua Mahkama Konstitusi, Mahfud MD, ikut menanggapi peluang pasangan calon 02 dalam sidang sengketa Pemilu Presiden 2019 di MK. Sidang tersebut menjadi salah satu rangkaian dari pemilihan umum yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Sidang digelar pada hari ini, Jumat 14 Juni 2019.
Dalam sidang sengketa pemilu kali ini, Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menjadi pemohon. Sementara yang jadi termohon adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU). Lalu calon pasangan 01, Jokowi-Marud menjadi pihak terkait.
Mahfud MD menanggapi sidang sengketa Pemilu Presiden 2019 tidak akan mudah.
Tanggapan itu dikatakan dalam sebuah wawancara acara Kabar Petang yang diunggah melalui media YouTube pada hari Kamis (13/6/2019). Dalam tanggapannya, Mahfud mengatakan bahwa pengadilan di MK bisa berlangsung secara kualitatif maupun kuantitatif.
Mahfud MD juga mengatakan bahwa hasil sidang sengketa pemilu akan tergantung pada hakim. Hakim akan menilai dari sudut pandang sebelah mana ia akan menilai sebuah keputusan.
“Ada yang mengatakan MK itu hanya kuantitatif. Hanya menghitung hasil dan menilai kembali hasil oleh KPU sehingga tidak bisa kualitatif, ketentuan seperti itu sejak dulu emang sudah ada,” ungkap Mahfud MD.
Meskipun Mahkama Konstitusi hanya kuantitatif, sejak tahun 2008, dalam hal sengketa pemilihan, MK tidak hanya bisa menjadi kalkulator saja. Dari situlah kemudian muncul kualitatif. Dalam artian MK dapat melakukan penerapan persyaratan pelanggaran yang bisa membatalkan dan mengubah hasil pemilu itu bersifat kualitatif, sejak itu dikenal dengan TSM.
“Sekarang sudah ada Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017. Itu nanti tergantung Mahkamah Konstitusi yang menilai, apakah cukup signifikan atau tidak pelanggaran-pelanggaran itu,” lanjut Mahfud MD.
Mantan ketua Mahkama Konstitusi tersebut juga menjelaskan tentang bagaimana pelanggaran tersturktur yang bisa diterima oleh MK. Ia mengatakan bahwa bisa dikatakan pelanggaran terstruktur jika tersturktur-terstuktur resmi– KPU atau pemerintah—memiliki keterkaitan dengan tempat pemungutan suara (TPS).
“Perlu diingat, bahwa yang dikatan terstruktur itu dilakukan oleh tersturktur-terstuktur resmi baik KPU maupun pemerintah yang memiliki sambungkan langsung dan ada kaitan dengan TPS,” jelas Mahfud MD.
Mahfud MD juga menjelaskan bahwa pelanggaran terstruktur juga harus bersinggungan langsung dengan perolehan suara di TPS.
“Tapi kalau itu tidak ada buktinya orang yang mendengarkan pidato itu betul-betul memilih tidak ada, maka sifat tersturktur itu tidak ada. Itu hanya dianggap pelanggaran kampanye biasa. Tidak bisa MK menilai langsung soal itu,” jelas Mahfud MD.
Namun dalam pengajuan sengketa pemilu tersebut, Mahfud MD juga mewajarkan adanya pengajuan gugatan yang dilakukan masing-masing kuasa hukum. Ia menilai bahwa keyakinan masing-masing kubu atas temuan kecurangan tersebut wajar.
Kebenaran yang dianggap masing-masing kubu tersebut nantinya akan dinilai oleh Mahkama Konstitusi. Penilaian tersebut akan dilakukan dengan cara persidangan. Dari sidang tersebut hakim akan menentukan, kebenaran mana yang dapat diterima atau tidak dapat diterima.
“Nanti dimana yang benar dari dua keyakinan itu adalah hasil Mahkamah Konstitusi. Dari sidang perdana nanti sudah ada hasil mana yang tidak dapat diterima dan mana yang diterima,” jelas Mahfud MD menanggapi hasil sidang Pemilu Presiden 2019.