Djawanews.com – Lima asosiasi arsitek dan rancang kota mengkritik konsep dan desain Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Mereka menekankan seharusnya IKN lebih mengedapankan kelestarian lingkungan dan keberlanjutannya daripada kemegahan.
Sebelumnya pemerintah buka-bukaan tentang desain megah Istana Garuda dan fasilitas transportasi modern di IKN. Ada juga berbagai teknologi modern seperti rencana pembangunan tol bawah laut hingga bandara antariksa mengadopsi teknologi SpaceX.
"Build more with less, ini menjadi trend global. Bukan menjadi mewah, megah, dan sebagainya. Tapi kota green economy, nett zero emission," ujar Ketua Umum Green Building Council Indonesia Iwan Prijanto, dalam diskusi virtual pada Rabu, 26 Januari.
Terkait hal itu, Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia, Hendricus Andy Simarmata, mengatakan pembangunan IKN mesti mempertimbangkan daya dukung lingkungan hidup. Kedua lapisan sosial, yaitu memastikan pemerataan. Terakhir baru aspek ekonomi dari pembangunan tersebut.
"Pemanfaatan ruang harus disesuaikan daya dukungnya. Kalau airnya sepet, kontur tanah bergelombang, kita perlu impor air, impor energi. Itu namanya tidak sustainable, memberatkan orang yang tinggal di dalamnya," pungkas Andy.
Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Ahli Rancang Kota Indonesia, Sibarani Sofian, mengatakan bagian terpenting dari kota modern itu adalah kota yang pembangunannya ramah lingkungan dan tingginya tanggung jawab dan kesadaran masyarakatnya merawat alam.
Lebih jauh Sibarani mengatakan, masyarakat di IKN Nusantara harus siap hidup diet energi hingga tak menghasilkan emisi karbon berlebihan. Misal dengan kembali menggunakan sepeda sebagai transportasi dan tidak menggunakan AC alias pendingin ruangan. Sumber energi kelistrikan yang digunakan haruslah berasal dari solar panel atau hydropower.
"Kita kurangi kebutuhan listriknya, ini hal yang buat manusia mudah nih, berani enggak tinggal di ibu kota tapi enggak pake AC? Lampunya semua harus yang LED dan alternatif energi ya. Kasarnya diet, diet resources, diet energi," ujar dia.
Senada dengan Sibarani, Ketua Umum Green Building Council Indonesia, Iwan Prijanto menyebut tren dunia saat ini adalah dimulainya kesadaran merawat lingkungan.
Iwan berpendapat, konsep kota masa depan itu mirip-mirip dengan kehidupan Batavia era 1940, atau Yogyakarta pada tahun 1960-1970-an. Kala itu, kota ukurannya kecil, populasi terjaga, dan dipenuhi sepeda. Sehingga kualitas udara bagus dan seluruh penjuru dapat dijangkau.
"Ukuran kota sustain itu net zero, kalau enggak harus pakai AC kenapa harus pakai? Kalau bisa ke warung pakai sepeda atau jalan kaki, kenapa harus pakai motor? Kalau kita bisa melakukan cara itu, baru bisa bicara teknologi, renewable energi. Hari ini kesadaran terhadap itu masih rendah," ujarnya.