Djawanews.com – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut pemerintah berencana membagikan 680 ribu penanak nasi atau rice cooker gratis kepada masyarakat pada 2023 mendatang. Pengajar ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai kebijakan ini tidak tepat.
Fahmy menjelaskan, setelah pembagian kompor listrik dibatalkan, rice cooker yang akan dibiayai dari APBN Kementerian ESDM 2023 itu rencananya untuk mendukung pemanfaatan energi bersih, meningkatkan konsumsi listrik per kapita, serta penghematan biaya memasak bagi masyarakat.
Namun kebijakan itu disebut tak memiliki kalkulasi dampaknya.
"Pemerintah belum menghitung juga kontribusi dalam pemanfatan energi bersih, peningkatan konsumsi listrik, dan penghematan menanak nasi dalam penggunaan 680 ribu rice cooker," kata dia.
Ia mengakui, sebagai bagian dari diversifikasi penggunaan energi bersih dari listrik, pembagian rice cooker gratis cukup tepat.
Dengan daya listrik yang rendah, penggunaan rice cooker dapat dimanfaarkan oleh keluarga penerima manfaat yang menggunakan daya listrik 450 Volt Ampere (VA), baik untuk rice cooker berdaya 200 VA, maupun berdaya 300 VA.
Selama ini, rice cooker berdaya 200 VA dapat digunakan 24 jam, sedangkan rice cooker berdaya 300 VA tidak dapat digunakan selama 24 jam terus menerus, terutama pada malam hari saat semua menyala.
Untuk itu, agar lebih leluasa dalam penggunaan rice cooker 300 VA, pelanggan listrik 450 VA harus mengubah menjadi 900 VA.
Namun, menurut Fahmy, pembagian rice cooker itu tidak tepat jika digunakan untuk menggantikan gas LPG 3 Kg alias gas melon.
"Kebijakan ini hampir tidak dapat menggantikan LPG 3 Kg sama sekali. Alasannya, rice cooker hanya untuk menanak nasi, sedangkan memasak lauk dan lainnya masih menggunakan kompor gas dengan LPG 3 Kg," tuturnya.
Selama ini LPG 3 Kg memakan APBN cukup besar dan termasuk produk yang banyak diimpor. Namun kondisi ini tidak serta merta dapat diatasi dengan kebijakan bagi-bagi penanak nasi ini.
"Program pembagian rice cooker tidak efektif sama sekali dalam mencapi tujuan mengurangi, apalagi menggantikan LPG 3 Kg, yang konten impor dan subsidi cukup besar sehingga memberatkan APBN," kata dia.
Menurut Fahmy, Kementerian ESDM seharusnya mempriototaskan diversifikasi program penggunaan energi bersih melalui migrasi dari LPG 3 Kg ke energi bersih, seperti menambah jaringan gas dan mempercepat gasifikasi batubara yang lebih masif.
"(Upayanya) Bukan program coba-coba yang tidak efektif dalam menggantikan LPG 3 Kg, yang menjadi permasalahan negeri ini selama ber tahun-tahun tanpa ada solusinya," tandasnya.