Dilansir dari blog.netray.id: Otak-atik kebijakan penanganan Covid-19 sepertinya bukan menjadi hal yang asing bagi warga Indonesia. Kebijakan berupa pergantian istilah yang berulang kali terjadi pun menuai kontroversi. Lucunya, hal ini bahkan hanya dinilai sebagai perubahan nama yang tak memberikan dampak pada model penanganan. Kebijakan ini sering muncul di saat atau menjelang perayaan hari raya suatu umat. Alasannya tentu saja guna meminimalisir kenaikan kasus pasca perayaan libur panjang. Mobilitas yang cukup tinggi serta kerumunan di saat merayakan hari raya dinilai pemerintah sebagai salah satu pemicu lonjakan kasus Covid-19.
Seperti yang diberitakan di laman satgas Covid-19 milik pemerintah, kenaikan kasus libur panjang yang memberikan angka tinggi ialah pasca hari Raya Idul Fitri dan Natal. Menurut data satgas pasca hari raya umat Islam 2020 terjadi penambahan antara 413 – 559 kasus harian baru atau sebesar 68 – 93%. Selanjutnya, pasca libur panjang Maulid Nabi dan Natal tahun 2020 terjadi penambahan sebanyak 1.157 hingga 5.477 kasus harian, atau sebesar 37-95%. Dan yang terbaru ialah pasca hari Raya Idul Fitri 2021 yang mana varian baru dari Covid-19, yakni varian Delta juga telah masuk ke Indonesia sehingga terjadi kenaikan kasus harian pada rentang 1.972 hingga 46.297 atau 53-1237%.
Berdasarkan hal tersebut, kebijakan pembatasan mobilitas kembali dicanangkan pemerintah dengan menerapkan PPKM level 3. Hal ini disampaikan oleh Menko PMK, Muhadjir Effendy pada Rapat Koordinasi Tingkat Menteri Antisipasi Potensi Peningkatan Kasus Covid-19 pada Libur Natal-Tahun Baru, Rabu (17/11/2021). Mengutip dari Detik, seluruh wilayah di Indonesia, baik yang sudah berstatus PPKM Level 1 maupun 2, akan disamaratakan menerapkan aturan PPKM Level 3. Kebijakan yang menunggu ketok palu dari Kemendagri ini rencananya akan diterapkan mulai 24 Desember 2021 sampai 2 Januari 2022 mendatang.
Kebijakan tersebut tentu saja merupakan salah satu bentuk upaya yang dilakukan pemerintah untuk mencegah klaster baru pasca liburan. Mengingat kasus Covid-19 di Indonesia hingga kini belum memberikan kabar terbaiknya. Bahkan hampir memasuki tahun ketiga, Indonesia masih belum berdamai dengan pandemi ini. Dari data yang disampaikan oleh situs pemerintah, masih terdapat lima ribu lebih jiwa yang terkonfirmasi positif Covid-19 per tanggal 9 Desember 2021. Jawa Tengah yang merupakan provinsi kasus terbanyak ketiga hingga saat ini masih memiliki 1.318 jiwa yang tengah menjalani perawatan dan juga isolasi mandiri. Hal ini menunjukkan bahwa pandemi di Indonesia memang benar-benar masih menghantui negara ini.
Lambannya laju penurunan kasus tersebut bahkan menjadikan Indonesia sebagai objek penelitian dunia. Apabila mencari penilaian penanganan pandemi di Indonesia melalui mesin Google, kita akan disuguhkan dua hal yang bersebrangan. Terdapat dua penilaian, yakni terbaik dan juga terburuk. Pada tahun pertama pandemi, Indonesia sempat dinilai sebagai negara tertinggal dalam penanganan Covid-19. Hal tersebut berdasarkan pada riset berjudul Which Economy Emerges First on the Path to Recovery? yang dikeluarkan oleh Morgan Stanley. Riset tersebut menunjukkan bahwa kemampuan institusional Indonesia dalam merespons situasi Covid-19 secara domestik dinilai sangat tidak efektif. Namun, hal ini jauh berbeda 180 derajat ketika pandemi di Indonesia memasuki tahun kedua. Recovery Index yang dirilis Nikkei Asia pada 30 September 2021 menempatkan Indonesia pada urutan pertama di kawasan ASEAN. Selain itu, Our World Data mencatat hingga 11 Oktober 2021 Indonesia berada di peringkat keenam dunia sebagai negara yang paling banyak memberikan vaksin.
Berita terbaik semacam inilah yang kemudian juga menjadi pertimbangan pemerintah untuk membatalkan kebijakan PPKM level 3 saat Nataru. Bak makanan instan, kebijakan yang baru diumumkan pada 17 November 2021 tersebut dibatalkan tepat di tanggal 7 Desember 2021. Menko Maritim Luhut Binsar Pandjaitan membatalkan hal ini karena Indonesia dinilai siap menghadapi libur Nataru, terlebih penanganan pandemi menunjukkan hasil yang signifikan. Lebih lanjut Luhut mengatakan bahwa berdasarkan asessmen per 4 Desember, jumlah kabupaten kota yang tersisa di level 3 hanya 9,4 persen atau 12 kabupaten/kota dari total wilayah di Jawa-Bali. Namun, di balik itu ia kembali mengingatkan untuk tetap waspada terhadap wabah ini sebab variasi terbaru, yakni Omicron telah terkonfirmasi di beberapa negara. Sehingga pengetatan syarat perjalanan, terutama bagi penumpang dari luar negeri akan terus dilakukan pemerintah.
Perubahan ini mendapatkan respons dari berbagai kalangan. Ada yang menilai hal ini merupakan kebijakan yang tepat karena telah didasarkan pada survey yang ketat sehingga pemerintah berani mengambil kebijakan tersebut. Namun, di sisi lain terdapat beberapa pihak yang menilai hal ini merupakan sebuah kemunduran. Mengutip dari CNN Indonesia, pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah menilai sikap ini tak lain menunjukkan bahwa pemerintah gamang menghadapi Nataru.
Lantas seperti apa tanggapan masyarakat yang diwakili oleh warganet Twitter dalam melihat perubahan kebijakan ini? Apakah hal ini memberikan angin segar atau justru menimbulkan perdebatan di tengah isu-isu miring terkait buruknya penanganan?
Pembatalan PPKM di Mata Warganet
Dari pantauan Media Monitoring Netray, perbincangan Nataru dan PPKM menukik tajam tepat di hari pengumuman pembatalan PPKM level 3. Ribuat tweet digaungkan warganet untuk berbagi opini terkait hal ini. Tweet bersentimen negatif pun mendominasi topik ini. Melalui fitur Top Complaint kita dapat melihat beberapa tweet yang menjadi penyumbang sentimen negatif tersebut. Terlihat pada gbr. 3 beberapa diksi yang terdeteksi sebagai keluhan warganet muncul pada fitur ini. Salah satunya ialah ga konsisten, apa yang ingin disampaikan warganet?
Pembatalan PPKM level 3 menjelang Nataru ini dinilai warganet sebagai sikap rasis pemerintah. Penilaian ini dilayangkan oleh beberapa warganet karena pengetatan mobilitas dari awal pandemi sudah sering dilakukan oleh pemerintah apabila menjelang perayaan hari raya. Bahkan pada hari raya Idul Fitri 2021, pemerintah memberikan aturan ketat berupa larangan mudik dan aturan beribadah. Namun, hal ini berbanding terbalik dengan perayaan Natal di tahun ini. Pemerintah memberi kelonggaran meski beberapa peraturan pembatasan kegiatan tetap diberlakukan. Kejadian ini tentu saja menimbulkan buruk sangka publik terhadap pemerintah. Mengingat kelonggaran tersebut bisa saja menjadi momen penambahan kasus yang kemudian memunculkan klaster baru.
Perubahan instan ini semakin memberikan stigma negatif publik terhadap pemerintah. Isu-isu buruknya penanganan hingga adanya permainan bisnis kesehatan semakin mendekati perkiraan publik di balik pembatalan ini. Warganet menilai kelonggaran tersebut sengaja dibuat pemerintah sehingga apabila terjadi kenaikan kasus maka peluang bisnis PCR akan semakin besar.
Perbedaan kebijakan menjelang hari raya mungkin saja merupakan hal yang sangat sensitif mengingat mayoritas penduduk Indonesia ialah muslim. Banyaknya momen peringatan umat muslim membuat publik agak ketar-ketir menunggu kebijakan yang akan berlaku pada saat tersebut. Warganet pun berharap adanya kelonggaran tersebut tak membuat abai terhadap prokes sehingga tidak menimbulkan lonjakan kasus positif Covid-19. Yang mana lonjakan tersebut tentu saja akan menjadi perhitungan pemerintah dalam menerapkan kebijakan menjelang hari raya umat lainnya.
Otak-atik kebijakan penangangan Covid-19 ini menimbulkan berbagai polemik terlebih peraturan tersebut diberlakukan menjelang liburan panjang, seperti perayaan hari raya. Pembatalan yang terkesan instan tersebut banyak dinilai publik sebagai bentuk ketidakkonsistenan pemerintah dalam membatasi mobilitas guna meminimalisir lonjakan saat libur panjang. Tak hanya kurang konsisten, kritik rasis pun dilayangkan publik lantaran kelonggaran tersebut terjadi tepat menjelang Natal dan hal ini berbanding terbalik dengan perayaan hari raya umat Islam sebelumnya. Bahkan prasangka buruk publik terhadap pemerintah semakin kuat lantaran hal ini. Dengan demikian, kelonggaran yang diberikan saat momen besar ini patutnya menjadi perhatian besar publik dengan benar-benar menaati prokes yang ada. Selain itu, pemerintah seharusnya juga turut menyiapkan rencana terbaik untuk menghadapi kemungkinan buruk yang bisa saja akan terjadi, seperti adanya kenaikan kasus Covid-19.
Demikian pantauan Media Monitoring Netray terkait topik pembatalan PPKM level 3 menjelang Nataru. Simak isu terkini lainnya hanya di https://blog.netray.id/