Djawanews - Dalam kurun waktu yang berdekatan, sejumlah megafauna laut (paus hingga hiu paus) banyak terdampar di perairan Indonesia. Sejumlah langkah langsung diambil Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyikapi fenomena ini.
Yang terbaru adalah ketika paus pilot terdampar massal di perairan Madura. Setelah itu, KKP melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (Ditjen PRL) langsung menyiapkan beberapa langkah/
Dirjen PRL, Tb. Haeru Rahayu yang akrab disapa Tebe mengungkapkan sejumlah langkah prioritas akan dilakukan KKP. Langkah ini sudah didiskusikan bersama para pakar pada Sabtu (24/4/2021) lalu di Jakarta.
KKP akan melakukan pengendalian dan pengawasan pemanfaatan ruang laut dari aktivitas yang berdampak pada keberadaan mamalia laut. Kedua, melakukan riset pola keterdamparan dan pemetaan habitat/jalur migrasi. Ketiga, melakukan monitoring indeks kesehatan laut secara berkelanjutan.
Keempat, mengimplementasikan rencana aksi nasional mamalia laut dan rencana aksi nasional hiu paus. Kelima, penguatan dalam edukasi, sosialisasi dan peningkatan kapasitas masyarakat pesisir.
"Selain memperkuat jejaring penanganan mamalia laut terdampar (first responder) di tingkat daerah, menjalin sinergi dan kemitraan dengan seluruh pemangku kepentingan, dan memperkuat kelembagaan dan regulasi, KKP juga akan menginisiasi pusat rehabilitasi biota laut terdampar dan menyusun pedoman mammals observer,” jelas Tebe dilansir dari Kementerian KP pekan lalu.
Mengenai upaya nekropsi yang membutuhkan kepakaran dokter hewan, Tebe mengungkapkan saat ini pihaknya tengah mematangkan kerja sama dengan Asosiasi Dokter Hewan Megafauna Akuatik Indonesia (Iam Flying Vet) Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) yang siap membantu kasus penanganan megafauna laut terdampar di seluruh Indonesia.
“Kerja sama akan meliputi upaya peningkatan kapasitas sumber daya manusia dalam penanganan medis veteriner, penyadartahuan konservasi dan penanganan megafauna akuatik dilindungi, pengembangan sarana dan prasarana penanganan megafauna akuatik dilindungi, serta pertukaran data dan informasi megafauna akuatik,” lanjut Tebe.
Rr. Sekar Mira pakar mamalia laut dari LIPI menerangkan, penyebab terdamparnya paus dan hiu paus dapat dilihat saat kondisi saat terdampar dan kondisi saat mati. Jadi butuh waktu panjang dan keahlian yang holistik untuk dapat mengetahuinya.
"Upaya-upaya yang telah dilakukan oleh tim lapangan sudah cukup baik. Satu hal yang perlu dilakukan adalah penelitian lebih jauh mengenai mamalia laut, yang tentu saja dilakukan secara ilmiah dan dapat dibuktikan. Selain itu, diperlukan sumber daya yang cukup banyak, mulai dari SDM hingga teknologi berupa satellite tag. Sehingga ini menjadi tugas besar bagi kita, khususnya peneliti untuk mengungkap misteri ini,” terang Sekar.
Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut (KKHL), Andi Rusandi menerangkan fenomena megafauna laut terdampar tidak hanya terjadi di Indonesia saja, tetapi juga terjadi di tingkat global. Untuk itu, pihaknya berencana menggelar workshop internasional mamalia laut terdampar untuk berbagi pengalaman penanganan mamalia laut terdampar di masing-masing negara.
"Paus termasuk hewan yang melakukan migrasi jarak jauh untuk mencari makan, bahkan bisa melintasi antar negara. Untuk itu, perlu pengelolaan bersama di tingkat global. Khususnya, di wilayah segitiga terumbu karang," imbuh Andi