Djawanews.com – Usia yang hampir 1 Abad bagi Taman Siswa menandakan bahwa konsep dan keberadaannya diterima oleh masyarakat Indonesia. Konsep-konsep pendidikannya jelas masih kontekstual hingga saat ini. Di antaranya adalah yang kini kita kenal dengan konsep Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka yang dibesut oleh Mendikbud Ristek Nadiem Makarim, yang mungkin terinspirasi dari salah satu Panca Dharma Taman Siswa, yaitu kodrat alam dan kemerdekaan.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Dr. H. Hilmy Muhammad, M.A. dalam Dialog Pendidikan Menuju Satu Abad Taman Siswa dengan tema Pendidikan dan Implementasi Sila Keempat yang diselenggarakan oleh Institute Kahade dan Buletin Neng Ning Nung Nang pada Selasa (24/08) malam.
“Kami sepakat dengan nilai-nilai pendidikan yang diusung oleh Taman Siswa, bahwa anak memiliki memiliki kodratnya sendiri. Pendidikan tidak boleh memaksa siswa untuk menjadi A atau B. Pendidikan menjadi sarana pembimbing atau jalan penunjuk, selebihnya adalah siswa itu sendiri yang menentukan,” kata Senator asal Yogyakarta tersebut.
Menurut pria yang juga akrab disapa Gus Hilmy tersebut, ada kemiripan konsep Ki Hajar Dewantara dalam mewujudkan Taman Siswa dengan konsep pondok pesantren. Di antaranya adalah konsep among.
“Konsep among dalam konsep pesantren diartikulasikan sebagai asah asih asuh, baik dalam pikiran, fisik, maupun psikologis. Pesantren dengan basis asrama memungkinkan transfer of knowledge dan transfer of value. Di pesantren tidak hanya mengajar, melainkan juga mendidik secara intens sepanjang 24 jam. Konsep ini juga kita kenal dalam tradisi Jawa dengan ilmu iku dilakoni,” kata salah satu pengasuh Pesantren Krapyak tersebut.
Kaitannya pendidikan dengan Sila ke-4 dalam Pancasila, Wakil Rais Syuriah PWNU DIY ini menyatakan bahwa keduanya memiliki hubungan yang kuat. Di antaranya karena terdapat diksi hikmah.
“Hikmah kita baca sebagai pengetahuan. Dengan pengetahuan ini, orang bisa bermusyawarah untuk menemukan solusi dan mengkompromikan masalah di antara kita. Sila ke-4 tidak akan ada tanpa hikmah, yaitu pengetahuan. Dalam musyawarah, kepentingan bersama menjadi yang diutamakan. Musyawarah mengharuskan orang untuk toleran terhadap pendapat orang lain. Harus juga menjunjung tinggi keputusan yang sudah disepakati, meskipun tidak sesuai dg kehendak sendiri. Ini karena ada ilmu pengetahuan di dalamnya,” ujar anggota MUI Pusat tersebut.
Hadir juga dalam kesempatan tersebut sebagai pembicara adalah Dr. Sugeng Bayu Wahyono, M.Si (Dosen Pedagogi Kritis Universitas Negeri Yogyakarta) dan Dr. Y. Agus Tridiatno, M.A. (Dosen Universitas Atma Jaya Yogyakarta).
Bayu mengemukakan nilai-nilai pendidikan Ki Hajar Dewantara yang dikontekstualisasikan hingga zaman siber. Menurutnya, secara paradigmatik, Ki Hajar menganut multi paradigma.
“Nilai dalam konsep pendidikan Ki Hajar itu di antaranya adalah subjek aktif untuk negosiasi dan resistensi (humanistik dan mandiri), keseimbangan otak kanan dan kiri (pintar saja tidak cukup, tapi harus bijaksana), tumoto (demokrasi tertata dan berdaya),” katanya.
Sementara Agus secara reflektif memaknai pendidikan sebagai suatu fasilitas. “Hakikat pendidikan adalah fasilitas. Pendidikan harus menarik, menghasilkan pengetahuan, menjadi keyakinan dan nilai, lalu berimplikasi dalam perubahan sikap, dan pada akhirnya melahirkan keterampilan,” ujarnya.