Djawanews.com – Menteri Koordinator (Menko) Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengatakan kerusuhan dan kekerasan yang terjadi pada 1998 bukan merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.
Hal ini disampaikan Yusril saat disinggung soal masalah pelanggaran HAM berat yang menjadi pekerjaan rumah bahkan di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) lalu. Dia awalnya mengatakan pelanggaran kategori ini kebanyakan terjadi saat kolonial.
“Pelanggaran HAM yang berat itu kan genocide, ethnic cleansing tidak terjadi dalam beberapa dekade terakhir, mungkin terjadi justru pada masa kolonial ya pada waktu awal perang kemerdekaan kita 1960-an,” kata Yusril kepada wartawan di Istana Negara, Jakarta, Senin, 21 Oktober.
Sementara pada periode saat ini, Yusril bilang belum ada pelanggaran HAM kategori berat. Termasuk, ketika ditanya pendapatnya terkait peristiwa kerusuhan 1998.
“Enggak (peristiwa 1998 tidak termasuk pelanggaran HAM berat, ted),” tegasnya.
Sementara itu, pemerintahan Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) menyebut ada 12 pelanggaran HAM berat berdasarkan laporan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Rinciannya adalah sebagai berikut:
- Peristiwa 1965-1966
- Peristiwa penembakan misterius 1982-1985
- Peristiwa Talangsari Lampung 1989
- Peristiwa Rumah Gudong dan Posatis di Aceh 1989
- Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997 dan 1998
- Peristiwa Kerusuhan Mei 1998
- Peristiwa Trisakti dan Semanggi I dan II pada 1998-1999
- Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999
- Peristiwa Simpang KKA di Aceh 1999
- Peristiwa Wasion di Papua 2001-2002
- Peristiwa Wamena di Papua 2003
- Peristiwa Jambo Kapuk di Aceh 2023
Adapun tim tersebut dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 bersumber dari diskusi publik dan masalah-masalah yuridis serta politik yang menyertai perdebatan mengenai penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu. Anggotanya adalah Prof. Makarim Wibisono, Ifdal Kasim, Prof. Suparman Marzuki, Dr. Mustafa Abubakar, Prof. Rahayu, KH As'ad Said Ali, Letjen TNI (Purn.) Kiki Syahnakri, dan Prof. Komarudin Hidayat.