Djawanews.com – Mantan Direktur Utama (Dirut) Garuda Indonesia Emmirsyah Satar (ES), namanya ikut terseret dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait pengadaan pesawat di Garuda Indonesia (Persero) Tbk.
Kejaksaan Agung (Kejagung) mengatakan bawa dugaan kasus ini telah terjadi di masa kepemimpinan Emirsyah Satar. Terkait hal tersebut, kuasa hukum Emirsyah Satar, Luhut Pangaribuan mengaku belum mengetahui informasi lebih lanjut mengenai kasus yang menyeret kliennya itu.
“Karena yang pasti tentang pengadaan ATR itu sudah dalam dakwaan KPK dan diadili dan dihukum,” ujar Luhut saat dihubungi Kompas.com, Rabu (12/1). Dilansir dari Kompas.com.
Diketahui sebelumnya, Emirsyah menjadi terpidana suap terkait pengadaan mesin Rolls-Royce untuk pesawat Airbus milik Garuda Indonesia.
Ia mengatakan, saat ini kliennya sedang menjalani hukuman di Lapas Sukamiskin. Menurut dia, jika kasus tersebut sama, akan merujuk ke asas hukum ne bis in idem atau melarang terdakwa diadili lebih dari satu kali atas satu perbuatan.
“Sekarang sedang menjalani hukumannya di Sukamiskin. Kalau sama maka ne bis in idem. Sudah selesai karena sudah dipertanggungjawabkan,” ujar dia.
Lebih lanjut, Luhut mengaku tidak mengetahui bahwa kliennya sudah sempat diambil keterangan oleh tim penyidik Kejagung dalam kasus ini. Luhut berharap asas praduga tak bersalah harus tetap diutamakan dalam pengusutan kasus dugaan korupsi yang ditangani Kejagung ini.
“Berharap prosesnya tetap baiklah sesuai prinsip hukum yang ada. Asas praduga tidak bersalah kiranya tetap jadi acuan dengan menghormati hak terperiksa sesuai hukum acara pidana,” tuturnya.
Diketahui, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menyerahkan bukti dugaan tindak pidana korupsi dalam penyewaan pesawat ATR 72 seri 600 yang dilakukan PT Garuda Indonesia Tbk ke Kejagung RI pada Selasa (11/1/2022) kemarin.
Adapun bukti yang diserahkan, menurutnya, bukti yang valid mengenai dugaan kejanggalan dalam proses penyewaan pesawat tersebut. Berdasarkan hasil penyelidikan sementara Kejagung, ditemukan adanya dugaan mark up sewa pesawat dan manipulasi data dalam kasus ini.
"Mark up penyewaan pesawat Garuda Indonesia yang mengakibatkan kerugian keuangan negara dengan waktu perjanjian tahun 2013 sampai dengan saat ini dan manipulasi data dalam laporan penggunaan bahan bakar pesawat," ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak dalam keterangan tertulis, Selasa (11/1).
Lebih lanjut, diketahui bahwa berdasarkan Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) 2009-2014 terdapat rencana kegiatan pengadaan penambahan armada pesawat sebanyak 64 pesawat yang dilakukan Garuda Indonesia.
Penambahan pesawat itu dilakukan baik dengan menggunakan skema pembelian (financial lease) dan sewa (operation lease buy back) melalui pihak lessor. Leonard menjelaskan, sumber dana yang digunakan dalam rencana penambahan jumlah armada tersebut dengan menggunakan lessor agreement, di mana pihak ketiga akan menyediakan dana dan Garuda Indonesia kemudian akan membayar kepada pihak lessor melalui skema pembayaran secara bertahap dengan memperhitungkan waktu pengiriman terhadap inflasi.
Selanjutnya, atas RJPP tersebut direalisasikan beberapa jenis pesawat, yakni ATR 72-600 sebanyak 50 unit dengan rincian pembelian 5 unit dan penyewaan 45 unit. Kemudian pesawat CRJ 1000 sebanyak 18 unit pesawat yang terdiri atas pembelian 6 unit dan penyewaan 8 unit. Dilansir dari Kompas.com.
Baca artikel terkait Tindak Pidana Korupsi. Simak berita menarik lainnya hanya di Djawanews dan ikuti Instagram Djawanews.