Djawanews.com – Anggota KPU Idham Holik menjelaskan bahwa para pemilih lebih menyukai mencoblos calon legislatif daripada logo partai dalam Pemilu. Idham menyebut juga bahwa hal tersebut dibuktikan dengan rekapitulasi yang dilakukan KPU dalam Pemilu sebelumnya.
Dari rekapitulasi itu didapatkan hasil 75 persen pemilih memilih nama caleg dan 25 persen lainnya mencoblos lambang partai.
"Ini sekadar saya sampaikan hasil atau fakta elektoral pada saat pemungutan suara. Berdasarkan hasil rekapitulasi yang dilakukan KPU secara berjenjang itu didapati 75 persen pemilih memilih nama caleg, dan 25 persen pemilih mencoblos lambang partai," kata Idham dalam webinar, Minggu (19/2).
"Artinya apa? Pemilih kita itu tidak ada masalah dengan sistem proporsional daftar terbuka. Pemilih kita lebih prefer mencoblos caleg, buktinya ada, hasil pemilu 75 persen memilih caleg," imbuh dia.
Idham mengatakan kini KPU tetap menjalankan norma dalam Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu. Pasal itu berbunyi: Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.
"Karena norma yang terdapat dalam 168 ayat dua tersebut ini masih efektif berlaku," kata dia.
Sebanyak enam orang, yakni Demas Brian Wicaksono, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono sebelumnya mengajukan uji materi UU Pemilu terkait sistem proporsional terbuka ke MK. Permohonan tersebut teregistrasi dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022.
Dalam sistem proporsional terbuka yang berlaku saat ini, pemilih bisa mencoblos partai politik ataupun nama caleg.
Sementara dalam sistem proporsional tertutup, pemilih hanya bisa mencoblos partai. Surat suara tidak menyertakan nama caleg yang diajukan partai. Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono belakangan mempertanyakan urgensi merombak sistem pemilu tersebut.
"Apakah saat ini, ketika proses pemilu telah berlangsung, ada sebuah kegentingan di negara kita, seperti situasi krisis tahun 1998 dulu misalnya, sehingga sistem pemilu mesti diganti di tengah jalan," ujarnya.
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto lantas merespons sentilan SBY tersebut dengan menyinggung kembali perubahan sistem pemilu di era pemerintahannya pada 2008 lalu.
"Pak SBY kan tidak memahami jas merah. Pak SBY lupa bahwa pada bulan Desember tahun 2008, dalam masa pemerintahan beliau, justru beberapa kader Demokrat yang melakukan perubahan sistem proporsional tertutup menjadi terbuka melalui mekanisme judicial review," kata Hasto kepada wartawan di Kabupaten Lebak, Banten, Minggu (19/2).
Dapatkan warta harian terbaru lainya dengan mengikuti portal berita Djawanews dan akun Instagram Djawanews.