Dilansir dari blog.netray.id: Konten isu kesehatan mental makin populer di media sosial TikTok, isinya dari masalah kesehatan mental hingga literasi dan edukasi soal kesehatan mental. Makin populernya isu kesehatan mental bisa jadi merupakan gambaran persoalan yang dihadapi generasi z (kelahiran 1996 hingga 2009) yang merupakan pengguna dominan TikTok.
Berdasarkan laporan Influencer Marketing Hub, pada 2022 pengguna TikTok di Indonesia 60% lebih merupakan usia 13-24 tahun yang notabene generasi z. Dan berdasarkan data catatan statistik maupun penelitian usia-usia tersebut memiliki kecenderungan lebih tinggi dalam masalah kesehatan mental. Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, lebih dari 19 juta penduduk berusia di atas 15 tahun terkena gangguan mental emosional dan lebih dari 12 juta orang berusia di atas 15 tahun mengalami depresi.
Gambaran masalah para usia remaja itu juga dapat diteropong melalui konten-konten di TikTok. Netray memantau konten terkait topik kesehatan mental di media sosial TikTok dengan menggunakan kata kunci #kesehatanmental selama 7-17 Oktober 2022. Hasilnya, terdapat 525 konten dengan menggunakan tagar tersebut yang diputar sebanyak 10,5 juta kali.
Kami melakukan pantauan selama 10 hari, termasuk saat momen hari kesehatan mental sedunia yang jatuh pada 10 Oktober. Hasil pantauan menunjukkan topik isu kesehatan mental memiliki impresi yang tinggi, total impresi mencapai 977,9 ribu dan dibagikan sebanyak 40,9 ribu kali. Sementara jumlah komentar mencapai 19,4 ribu dan disukai sebanyak 917,7 ribu.
Selain tagar #kesehatanmental dan #fyp warganet pengguna TikTok menggunakan tagar #mentalhealth dalam perbincangan terkait isu ini. Kedua istilah tersebut pun cukup populer menjadi isu yang ramai dibahas oleh pengguna lainnya. Salah satu akun yang populer pada topik ini yaitu akun ‘User juara nih {IG:anoyyyeh}’ dan ‘justfiksii’.
Sebagai media sosial berbasis video pengguna TikTok kerap membagikan video dengan menggunakan lagu Tulus yang berjudul Diri. Lagu yang memuat pesan untuk menyayangi diri sendiri tersebut pun sesuai dengan topik pembahasan yakni seputar kesehatan mental.
Sementara pada tagar populer tampak berbagai tagar yang kerap disematkan warganet TikTok pada kontennya, seperti depresi, infokesehatan, psikologi, bertahan, semangat, healing, selflove, mentalhealthawareness, dan berbagai tagar lainnya.
Salah satu konten terkait kesehatan mental paling populer diunggah oleh pemilik akun @panggil_anoyyy. Konten yang diunggahnya tersebut memuat rekaman saat dirinya berkonsultasi terkait persoalan hidupnya dengan seorang dokter. Ia juga menyarankan pada warganet untuk segera berkonsultasi jika mengalami masalah mental. Ia pun mendapat berbagai dukungan dari pengguna TikTok lainnya sebagaimana tampak di laman komentar yang didominasi oleh sentimen positif yang terlihat dari Word Cloud.
Kemudian pada konten populer lainnya tampak unggahan milik akun @justfiksii yang ditonton sebanyak 1.7 juta kali. Konten tersebut memuat ucapan selamat hari kesehatan mental yang jatuh pada 10 Oktober 2022. Warganet pun tampak merespon baik konten tersebut dengan berbagai komentar bersentimen positif.
Di TikTok warganet dapat dengan mudah mengakses berbagai pengetahuan dan tips terkait isu kesehatan mental. Bahkan konten video berdurasi beberapa detik tersebut dikemas dengan menarik dan komunikatif oleh para ahli di bidang ini, seperti oleh para dokter dan psikiater. Hal ini tentu sangat membantu untuk meningkatkan kesadaran dan edukasi terhadap masyarakat.
Melalui konten-konten tersebut warganet juga dapat langsung berinteraksi melalui kolom komentar dengan berbagi pengalaman atau untuk memberikan dukungan. Interaksi dan afirmasi yang diberikan oleh sesama warganet tersebut membuat warganet lebih nyaman membagikan pengalaman mereka secara terbuka di laman ini.
Melalui konten-kontennya warganet TikTok juga mengemas pengalaman mereka atau reaksi mereka terhadap isu kesehatan mental. Berbagai konten ini kemudian mendapatkan jumlah penonton yang tidak sedikit hingga menjadi konten-konten populer yang dibagikan oleh ke pengguna lainnya.
Populernya konten-konten terkait isu kesehatan mental menunjukkan adanya kabar baik terkait kesadaran yang mulai tumbuh di tengah masyarakat. Tidak hanya menjadi wadah untuk membagikan pengalaman, media sosial kemudian dapat menjadi campaign pentingnya menjaga kesehatan mental.
Terlebih saat ini gangguan kesehatan mental rentan menjangkiti usia remaja. Sebagaimana angka gangguan kesehatan mental untuk usia 15-24 tahun menunjukkan persentase sebesar 6,2%. Hal ini kemudian menjadi alarm bagi masyarakat untuk lebih peduli akan kesehatan mental.
Isu Kesehatan Mental di YouTube
Namun berbeda di media sosial berbasis video lainnya seperti YouTube, konten kesehatan mental di TikTok jauh lebih populer. YouTube memang memiliki rentang umur pengguna yang lebih lebar dari TikTok, tak hanya di usia remaja namun hingga usia 60 tahun ke atas.
Dengan kata kunci dan periode pemantauan yang sama di YouTube hanya ada 261 konten soal kesehatan mental dalam waktu 10 hari.
Perbandingan konten isu kesehatan mental di TikTok dan YouTube bisa jadi menunjukkan bahwa isu kesehatan mental lebih banyak dipopulerkan oleh pengguna TikTok dengan ranah pasar cenderung pada usia yang lebih muda.
Hal ini mengingat tingginya persentase risiko remaja dengan gangguan kesehatan mental membuat TikTok menjadi media yang dimanfaatkan untuk mengedukasi. Hal ini pun didukung oleh tenaga ahli yang memanfaatkan momentum ini dengan mengemas berbagai edukasi terkait kesehatan mental dengan konten ringan yang mengedukasi.
Dengan demikian, remaja dengan usia 15–24 tahun dapat mengakses dan berinteraksi melalui kanal tersebut. Interaksi yang tinggi membuat jangkauan dan insight konten-konten tersebut pun semakin populer dan semakin banyak berpotensi menjangkau pengguna lainnya.
Masalah Kesehatan Mental
Berdasarkan hasil Riskesdas 2018 lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, dan lebih dari 12 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi. Tidak hanya psikosis dan skizofrenia, depresi juga menjadi gangguan kesehatan mental yang menjadi persoalan di masyarakat. Terlebih depresi juga dapat menyebabkan akibat yang fatal seperti kematian.
Data Riskesdas 2018 mencatat prevalensi (per mil) Rumah Tangga dengan ART Gangguan Jiwa Skizofrenia/Psikosis berada pada kisaran 6,7%. Menurut Undang-Undang No 18 Tahun 2014 kesehatan jiwa merupakan kondisi dimana seorang dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya.
Pada kasus gangguan kesehatan mental depresi, tingkat depresi pada penduduk usia 15 tahun ke atas di Indonesia berada pada persentase 6,2% atau setara dengan 11 juta orang.
Persentase pada grafik di atas menunjukkan tingkat depresi yang cukup tinggi bahkan pada kategori masyarakat dengan rentang usia 15-24 tahun. Data Riskesdas 2018 juga melaporkan prevalensi gangguan mental emosional pada Penduduk Umur >15 Tahun dengan persentase sebesar 9,8%.
Rendahnya pemahaman akan kesehatan mental di Indonesia mengakibatkan tingginya angka pemasungan. Tingkat pemasungan orang dengan gangguan jiwa sebesar 14% pernah pasung seumur hidup dan 31,5% dipasung 3 bulan. Selain itu, sebesar 91% masyarakat Indonesia yang mengalami gangguan jiwa tidak tertangani dengan baik dan hanya 9% sisanya yang dapat tertangani. Penyebabnya gangguan kesehatan mental pun terbilang beragam, mulai dari faktor biologis dan psikologis.
Dikutip melalui Jurnal HAM dengan judul “Reaktualisasi Hak Atas Pelayanan Kesehatan Mental Pasca Pandemi Covid-19 di Indonesia: Sebuah IUS Constituendum?” mencatat akar permasalahan pada kesehatan mental yang dinilai berasal dari tiga inti pokok. Pertama adalah pemahaman masyarakat yang kurang mengenai gangguan jiwa. Kedua adalah stigma mengenai gangguan jiwa yang berkembang di masyarakat. Ketiga adalah tidak meratanya pelayanan kesehatan mental. Hal ini kemudian diperparah dengan biaya pengobatan yang tinggi.
Kurangnya fasilitas pelayanan kesehatan mental di Indonesia menjadi salah satu dari tiga faktor utama. Hal ini dibuktikan dengan adanya 7 provinsi yang tidak memiliki Rumah Sakit Jiwa (RSJ) dan 3 provinsi yang tidak memiliki psikiater, yaitu Provinsi Kepulauan Riau, Banten, Kalimantan Utara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku Utara, dan Papua Barat. Provinsi yang belum punya tenaga psikiater adalah Provinsi Papua Barat, Sulawesi Barat, Maluku Utara. Indonesia memiliki 51 RSJ, yang antara lain terdiri dari 32 RSJ milik pemerintah dan 19 RSJ milik swasta.
Padahal hak atas pelayanan kesehatan mental merupakan bagian integral dari kehidupan seorang warga negara yang telah dijamin oleh Konstitusi. Dalam Konstitusi Negara yaitu UUD NRI 1945 telah ditegaskan bahwa pemenuhan hak atas pelayanan kesehatan mental merupakan tanggung jawab negara. Tepatnya pada Pasal 28H yang telah mengamanatkan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Jika hak tersebut tidak dapat terpenuhi maka risiko terhadap kematian pun sulit terhindarkan. Pasalnya tidak sedikit dari masyarakat yang memiliki gangguan kesehatan mental justru mengalami diskriminasi yang memperparah keadaan. Hingga tidak sedikit yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.
Gangguan kesehatan mental menyebabkan persoalan fatal yakni terjadi bunuh diri. Tidak hanya stigma terhadap gangguan kesehatan mental, bunuh diri juga dianggap sebagai aib. Hal ini menyebabkan orang dengan gangguan kesehatan mental kerap kali tidak menemukan jalan keluar untuk mengatasi persoalannya.
Kesehatan Mental Generasi Z Persoalan Serius
Hasil pantauan media sosial TikTok yang menunjukkan makin populernya isu kesehatan mental, dapat dimaknai dua sisi. Pertama bahwa generasi z yang merupakan mayoritas pengguna TikTok semakin terbuka dengan isu kesehatan mental. Kedua masalah kesehatan mental memang banyak terjadi pada usia remaja.
Jika angka masalah kesehatan mental pada remaja memang terbukti tinggi maka sudah sepatutnya menjadi isu serius yang perlu ditangani. Dan semakin banyaknya mereka yang terbuka dengan masalah kesehatan mental yang dihadapi, maka sejatinya penanganannya dapat dilakukan sejak dini sehingga resikonya dapat ditekan.
Simak analisis terkini dan mendalam lainnya di analysis.netray.id. Untuk melakukan pemantauan terhadap isu yang sedang berkembang sesuai kebutuhan secara real time dapat berlangganan atau menggunakan percobaan gratis di netray.id
Editor: Irwan Syambudi