Djawanews.com – Anggota Komisi I DPR RI Oleh Soleh mengutuk keras aksi sekelompok individu yang mengacungkan kertas bertuliskan kemerdekaan untuk Papua, Aceh, dan Maluku dalam forum resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat, pada Senin (21/4) lalu.
Aksi ini terjadi menjelang pembukaan United Nations Permanent Forum on Indigenous Issues (UNPFII) 2025.
"Kami atas nama DPR dan atas nama Bangsa Indonesia mengutuk keras atas gerakan tersebut," ujar Oleh Soleh kepada wartawan, Jumat, 25 April.
Menurut legislator dari Fraksi PKB itu, penggunaan forum internasional untuk menyuarakan agenda separatisme merupakan tindakan yang sangat tidak bertanggung jawab dan melanggar norma diplomatik.
Ia menilai, tindakan tersebut tidak hanya memalukan, tetapi juga berpotensi menimbulkan distorsi informasi mengenai situasi dalam negeri Indonesia di mata komunitas global.
Kronologi
Forum UNPFII merupakan agenda tahunan yang mempertemukan berbagai komunitas adat, organisasi internasional, dan negara anggota PBB untuk membahas isu-isu global terkait masyarakat adat.
Beberapa saat sebelum sesi pembukaan dimulai pada pukul 10.00 waktu setempat, empat individu yang mengatasnamakan dua kelompok separatis Aceh Sumatera National Liberation Front (ASNLF) dan West Papua Liberation Organization (WPLO) tiba-tiba mengangkat poster bertuliskan Free Maluku, Free Papua, Free Aceh" di ruang Sidang Majelis Umum.
Aksi itu dilakukan secara cepat, di sela-sela persiapan teknis sebelum pembukaan forum. Para pelaku kemudian berpose dan mengambil foto dengan latar belakang ruang sidang yang biasanya hanya diakses oleh pejabat resmi negara, lembaga PBB, atau partisipan terdaftar.
Adapun pihak yang terlibat dalam aksi itu diidentifikasi sebagai Tengku Fajri Krueng dan Muhammad Hanafiah dari ASNLF, serta John Anari dan Martin Go dari WPLO. Mereka disebut masuk ke ruang sidang sebagai peserta publik yang mendaftar melalui mekanisme terbuka UNPFII.
Setelah aksi tersebut dilakukan, para pelaku segera ditegur oleh Aspenmil PTRI (Perutusan Tetap Republik Indonesia) di New York. Diplomat Indonesia langsung melaporkan kejadian tersebut kepada pihak keamanan PBB, yang kemudian menyita poster-poster yang dibawa oleh keempat individu tersebut.
Keamanan PBB juga meminta mereka meninggalkan area sidang karena dinilai telah melanggar aturan ruang dan etika forum resmi PBB.
Oleh Soleh menegaskan bahwa tindakan provokatif semacam ini tak boleh dianggap enteng. Meskipun forum UNPFII bersifat terbuka dan memberi ruang bagi masyarakat sipil dari berbagai negara untuk hadir dan menyampaikan isu, hal itu tidak dapat dijadikan pembenaran untuk menyebarkan narasi yang mengancam keutuhan negara.
"Mereka telah menyalahgunakan forum resmi PBB untuk kepentingan kelompok mereka. Jelas itu sebuah pelanggaran yang tidak bisa kita anggap sepele," tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa kelompok separatis seperti ASNLF dan WPLO memang bukan kelompok besar di dalam negeri, namun mereka memiliki jaringan diaspora yang cukup aktif menyuarakan agenda kemerdekaan di forum internasional dan media sosial.
"Keempat orang tersebut tinggal di luar negeri dan berusaha aktif menyuarakan kemerdekaan di forum-forum internasional. Mereka kecil tetapi gencar bersuara di media sosial. Kita tidak boleh membiarkan suara mereka menjadi satu-satunya narasi yang terdengar di luar," katanya.
Ia menilai bahwa penyebaran pesan separatisme melalui forum internasional semacam ini adalah upaya untuk mengusik kedaulatan Indonesia dan membangun opini yang menyesatkan di dunia internasional.
"Karena mereka berusaha mengusik kedaulatan dan persatuan Indonesia, maka kita tidak boleh tinggal diam. Kita harus responsif dan hadir untuk menjaga keutuhan bangsa," pungkasnya.
Kementerian Luar Negeri dan PTRI New York disebut akan terus melakukan pengawasan dan upaya pencegahan terhadap kemungkinan aksi serupa di masa mendatang.
Pemerintah Indonesia juga diharapkan memperkuat diplomasi publik untuk menghadirkan narasi yang seimbang dan akurat mengenai pembangunan di Papua, Aceh, dan Maluku—wilayah yang selama ini kerap menjadi sasaran distorsi oleh kelompok tertentu di luar negeri.