Djawanews.com – Kisruh Arab Saudi dan Amerika Serikat (AS) masih berlangsung karena permasalahan produksi minyak. Sebelumnya hubungan kedua negara memanas karena keputusan OPEC+ yang ingin memangkas produksi dari minyak. Terbaru, dalam sebuah pesan, sepupu Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MBS) mengeluarkan ancaman karas ke Barat. Pangeran Saud al-Shaalan bahkan menyebut "jihad dan syahid".
"Siapa pun yang menantang keberadaan kerajaan ini, kita semua adalah proyek jihad dan syahid," katanya dalam sebuah video di media sosial, dikutip Middle East Monitor pada Senin, 17 Oktober.
Arab Saudi adalah pemimpin negara-negara produsen minyak OPEC. MesKi begitu, tak semua negara produsen masuk ke dalam organisasi itu, seperti Rusia. Gabungan antara OPEC dan non OPEC ini disebut OPEC+. Pekan lalu, keduanya bertemu dan sepakat memangkas produksi minyak sebesar dua juta barel per hari mulai November.
Langkah ini dirancang untuk memacu pemulihan harga minyak mentah. Minyak telah turun menjadi sekitar US$ 80 per barel, setelah sempat mencapai US$ 120 per barel pada awal Juni. Hal ini membuat AS meradang. AS mengatakan Arab Saudi berpandangan sempit sehingga akan menyakitkan bagi negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Apalagi inflasi sejumlah negara mengalami kenaikan akibat harga energi. AS sendiri mencatat inflasi mendekati level tertinggi dalam 40 tahun. Kekecewaan AS terhadap sikap itu tidak datang secara tiba-tiba. Negeri itu telah berkali-kali meminta agar produksi minyak digenjot untuk mengatasi krisis energi dan menurunkan harganya di hilir.
Selain itu, Presiden Joe Biden juga berkepentingan untuk menjaga harga bahan bakar jelang pemilihan paruh waktu pada bulan depan. Dalam sebuah pernyataan, Gedung Putih mengatakan Biden kecewa dengan keputusan 'OPEC+ picik.
Ia menyesalkan pemangkasan kuota produksi sementara ekonomi global menghadapi dampak negatif lanjutan dari serangan Putin ke Ukraina. Biden pun telah mengarahkan Departemen Energi untuk melepaskan 10 juta barel lagi dari cadangan minyak strategis bulan depan.
Sejumlah anggota Senat dan DPR AS juga bereaksi soal ini. Mereka menuding Arab Saudi beramen mata dengan Rusia, melecehkan AS dan harus dihukum.
"Amerika seharusnya tidak memberikan kendali tak terbatas atas sistem pertahanan strategis seperti itu kepada sekutu musuh terbesar kita, pemeras bom nuklir (Presiden Rusia) Vladimir Putin," tegas senator AS Richard Blumenthal dan anggota Kongres Ro Khanna dalam sebuah pandangan yang ditulis media Politico.
Para pejabat Arab Saudi sendiri membela keputusan OPEC+. Menurut mereka, ini dimotivasi ekonomi bukan politik.
Pernyataan Pangeran Saud al-Shaalan soal Produksi Minyak Bukan Sikap Resmi Kerajaan
Sementara itu, di sisi lain pelobi Arab Saudi, Ali Shihabi menegaskan sang pangeran adalah bangsawan kecil tanpa peran resmi. Sehingga itu bukan menjadi sikap kerajaan. "Ini adalah individu pribadi yang membuat pernyataan pribadi yang tidak ada hubungannya dengan negara," cuitnya.
Berdasarkan data BP Statistical Review 2022, AS sebenarnya menempati urutan pertama sebagai negara penghasil minyak bumi terbesar di dunia. Total produksi minyak bumi AS mencapai 16,58 juta barel per hari dan berkontribusi terhadap 18,5% produksi dari minyak dunia pada 2021.
Arab Saudi sendiri berada di posisi kedua. Dengan jumlah 10,95 juta barel per hari atau berkontribusi terhadap 12,2% produksi dari minyak dunia pada 2021. Di posisi ketiga, ada Rusia. Diperkirakan, negara yang satu ini menghasilkan minyak bumi sebanyak 10,94 juta barel per hari atau berkontribusi terhadap 12,2% produksi dari minyak dunia.
Di posisi keempat dan kelima ada Kanada dan Irak. Total minyak bumi Kanada mencapai 5,43 juta barel per hari atau berkontribusi terhadap 6% produksi minyak dunia sementara Irak, jumlah produksinya 4,10 juta barel per hari atau berkontribusi terhadap 4,6% produksi dari minyak dunia.
Dapatkan warta harian terbaru lainya dengan mengikuti portal berita Djawanews dan akun Instagram Djawanews.