Cebong dan kampret adalah istilah yang digunakan untuk pendukung masing-masing calon presiden dalam pemilu 2019.
Cabong dan kampret adalah istilah yang menjadi tren beberapa tahun terakhir. Sebenarnya istilah tersebut tidak hanya menjadi trending topic di tahun 2019., pasca pemilu 2014 sudah muncul istilah cebong dan kampret.
Cebong dan Kampret Sudah Ada Sejak 2014
Cebong dan kampret adalah umpatan untuk menyerang masing-masing lawan politik. Istilah kampret digunakan bagi para pendukung Joko Widodo untuk menyerang lawan politiknya dalam pemilu 2014 silam. Kemudian para pendukung Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa yang kalah dalam pilpres dijuluki kampret oleh para pendukung Jokowi.
Mengapa masing pendukung saling menyerang dengan nama hewan? Mengapa cebong dan kampret? Tidak bekicot? Atau tungau barangkali? Hal tesebut tidak terlepas dari budaya masyarakat Indonesia yang dalam umpat-mengumpat yang tidak bisa lepas dari hewan-hewan, sebut saja ada anjing, monyet, jangkrik, bajing, dan asu (masyarakat Jawa).
Pertama, mengapa para pendukung Jokowi disebut cebong? Hal tersebut dikarenakan di Istana Negara, katak adalah salah satu hewan peliharaan Jokowi, bahkan Jokowi diketahui memiliki banyak katak.
Momen tersebut kemudian digunakan para kampret untuk menghina para pendukung Jokowi dengan sebutan cebong, yang merupakan metamorfosis sebelum menjadi katak.
Kampret sendiri merupakan istilah serapan dari Bahasa Jawa yang berarti anak kelelawar. Binatang nocturnal yang memiliki kebiayaan tidur dengan kepala di bawah tersebut kemudian digunakan para cebong untuk menghina pendukung Prabowo-Hatta waktu itu (tahun 2014).
Namun, ejekan kampret tidak langsung dimaknai secara harfiah terkait asal-usulnya. Istilah kampret sendiri muncul merupakan plesetan dari Koalisi Merah Putih (nama koalisi partai dari Prabowo-Hatta). Koalisi Merah Putih yang kemudian disingkat menjadi KMP, kemudian dengan mudahnya diplesetkan menjadi “KMPret” dan menjadi “kampret”.
Meskipun istilah cebong dan kampret sudah ada sejak tahun 2014, namun istilah tersebut tidak sepopuler satu atau dua tahun terakhir ini. Hal tersebut barangkali lantaran pada tahun-tahun 2014 sosial media belum sepesat saat ini. Apalagi lantaran pilpres 2019 yang kembali disajikan dengan Jokowi dan Prabowo, cebong-kampret pun kembali menggema.
Cebong dan kampret dalam lima tahun belakangan telah mawarnai haru-biru politik di Indonesia. Siapa saja dapat menjadi cebong atau kampret, mulai dari sopir bajaj, mahasiswa, emak-emak, hingga bapak-bapak pensiunan pegawai negeri yang masih haus kekuasaan.
Politik memang bagai air, dapat bergerak ke mana saja. Kedekatan Prabowo dengan kubu Jokowi akhir-akhir ini (baca: setelah melakukan pertemuan dengan Jokowi dan Megawati), tentu membuat para kampret kebingungan dan kehilangan arah tujuan.
Terkait dengan para junjungan cebong dan kampret (Jokowi dan Prabowo) yang terlihat sudah rujuk dan berdamai kembali, lalu apakah setelah ini masih ada cebong dan kampret?
Kampret tentu masih ada, hanya nampaknya mereka menjadi kekuatan yang akan selalu beroposisi dengan pemerintahan. Meskipun Prabowo (jika saja) mendukung pemerintahan, kampret masih akan ada.
Namun tugas kampret kedepannya bakalan lebih berat, andai saja Prabowo CS beralih mendukung Jokowi lima tahun ke depan. Ah, yang fana adalah waktu, cebong dan kampret adalah abadi.