Dilansir dari blog.netray.id: Ujung kasus suap selebgram Rachel Vennya sepertinya bukan menjadi hal yang mengejutkan lagi bagi publik. Hasil sidang perdana Pengadilan Negeri (PN) Kota Tangerang, Jumat (10/12/2021) memutuskan bahwa Rachel Vennya divonis hukuman empat bulan penjara dengan masa percobaan delapan bulan dalam kasus pelanggaran kekarantinaan kesehatan. Hal ini berarti dalam vonis tersebut Rachel Vennya tidak menjalani hukuman penjara. Dengan catatan, yakni selama delapan bulan masa percobaan, dia tidak berbuat tindak pidana. Hal ini lantas kembali menjadi sorotan publik dan media karena kasus suap yang nyata terjadi justru terentas dari jerat dari hukum.
Isu kabur karantina selebgram beranak dua ini mulai disoroti publik sejak tanggal 9 Oktober 2021. Semenjak itu, pemberitaan tentang kasus Rachel Vennya mengalami fluktuatif (gbr. 1) lantaran kebenaran adanya oknum yang terlibat dalam pelolosan wajib karantina tersebut hingga isu permudahan dari jeratan hukum.
Benar saja, isu mudahnya sosok ‘berduit’ dalam menjalani hukuman tersebut kembali meruak setelah putusan sidang perdana yang dilakukannya pada Jumat pekan lalu. Meski mendapatkan denda hukuman denda Rp 50 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan masing-masing selama satu bulan, namun keputusan tersebut dirasa masih belum adil oleh beberapa pihak. Salah satunya ialah Ferdinand Hutahean. Mengutip dari Media Kepri, Ferdinand berpendapat bahwa vonis hukuman terhadap Rachel Vennya dinilai melecehkan rasa keadilan. Sehingga politisi tersebut berharap agar MA dapat melakukan pembinaan dan penyesuaian standar keadilan terhadap para hakim.
Topik yang melejit di tanggal 10 Desember tersebut sempat menurun di hari berikutnya. Namun, pada tanggal 13 Desember 2021 topik ini kembali memuncak setelah adanya putusan hakim terkait keterlibatan staf DPR bernama Ovelina Pratiwi. Ovelina dinyatakan bersalah dan divonis empat bulan penjara. Namun, sama halnya dengan sang penyuap, Ovelina juga tak menjalani proses penjara tapi hanya hukuman percobaan. Melansir dari iNews.id, dalam nomor perkara 20/Pid.S/2021/PN Tng yang bertanggal register 10 Desember 2021, disebutkan putusan terhadap Ovelina Pratiwi binti Achmad Taufik yakni pidana penjara waktu tertentu (4 bulan), subsider kurungan (1 bulan), dan pidana denda Rp20 juta.
Selebgram Trending Kanal Twitter
Tak hanya menuai sorotan media, selebgram yang aktif di media Instagram ini tak lepas dari sorotan warganet Twitter. Hasil putusan sidang yang dinilai meringankan Rachel Vennya tersebut turut banyak dikritisi oleh warganet. Bahkan dari periode pemantauan yang dilakukan oleh Media Monitoring Netray, hanya dengan kata kunci nama sang selebgram topik ini mampu menjangkau hingga 115 juta akun dengan total impresi sebanyak 633 juta dari 8,6 ribu tweet.
Berbagai opini hingga komplain atas putusan sidang banyak dilayangkan warganet sebagai bentuk protes ketidakadilan dari sebuah hukum. Bahkan beberapa umpatan pun dilayangkan warganet sebagai bentuk kritik terhadap putusan tersebut. Kekecewaan warganet dalam menanggapi kasus ini dapat terlihat dari fitur Top Complaints Netray di bawah ini. Tak hanya tweet berbau sarkas yang dilayangkan warganet, sindiran-sindiran juga tak henti di-tweet.
Hal tersebut dapat dilihat dari salah diksi yang terselip dalam kumpulan Top Words di atas yang menujukkan adanya kata sopan. Diksi tersebut menjadi kata favorit warganet dalam melayangkan kritik setelah adanya pemberitaan yang menunjukkan bahwa putusan hakim yang tidak memenjarakan Rachel Vennya ialah lantaran bentuk kesopanan terdakwa pada majelis hakim. Hal ini tentu saja menjadi bulan-bulanan watganet hingga banyak bermunculan meme yang menunjukkan Rachel Vennya sedang bersikap sopan dengan ‘Hakim’ dengan plesetan bahwa hakim tersebut ialah mantan suami Rachel Vennya.
Tak hanya berhenti di situ, sindiran ‘kesopanan’ Rachel terhadap majelis hukum pun juga menjadi ajang perbandingan warganet dengan kasus yang menimpa seorang nenek. Kasus nenek Asyani sempat mencuri perhatian media dan juga berbagai kalangan pada tahun 2014. Kala itu nenek Asyani didakwa dengan Pasal 12 huruf d juncto Pasal 83 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dengan ancaman hukuman penjara 5 tahun. Dakwaan ini bermula dari adanya tuduhan pencurian 38 papan kayu jati di lahan Perhutani di Desa Jatibanteng, Situbondo. Atas vonis tersebut, nenek Asyani bahkan sampi bersimpuh di depan majelis hakim agar mendapat keringangan. Potret kasus yang menjerat nenek tersebut pun menjadi ajang kritikan warganet terhadap putusan yang diterima selebgram Rachel Vennya.
Kasus Suap Melekat di Indonesia
Adanya kejadian tersebut, isu suap hakim semakin mempertebal dunia penegak hukum. Pernyataan terdakwa yang membenarkan telah menyuap beberapa oknum seperti tak mendapat perhatian hukum. Meski diketahui telah memberikan uang, nyatanya Rachel hanya dikenakan Pasal 93 UU RI Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP atau Pasal 14 UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit juncto Pasal 56 ayat 1 KUHPidana. Oleh karena itu, buna sapaan akrab Rachel Vennya juga dinilai telah menyuap hakim agar dirinya dapat terlepas dari jeratan hukum.
Kasus suap seperti ini sepertinya bukan hal asing di mata publik. Melansir dari laman Katadata, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tercatat telah menangani 682 kasus penyuapan sejak 2011-2020. Jumlah itu merupakan yang terbanyak dibandingkan jenis perkara korupsi lainnya dalam periode yang sama.
Kasus suap yang sempat menghebohkan publik tak hanya terjadi pada selebgram tersebut, beberapa kasus besar yang mendapat keringanan hukum juga pernah menjadi topik hangat di media massa Indonesia. Salah satu kasus yang hingga kini masih menjadi sorotan ialah kasus yang menjerat jaksa cantik Pinangki. Kejanggalan tersebut jelas terlihat pada putusan sidang banding yang dilaksanakan di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Dalam sidang tersebut hukuman Pinangki disunat menjadi 4 tahun pidana penjara, yang mana sebelumnya di sidang pertama ia dijerat 10 tahun penjara. Pemangkasan ini didasarkan hakim pada alasan, yakni terdakwa sebagai wanita harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan secara adil. Sontak hal ini sangat kontradiktif dengan ketentuan hukum yang semestinya berlaku bagi terdakwa penerima suap.
Tak hanya kasus Pinangki, kasus penyuap Pinangki yakni Djoko Tjandra pun hingga kini masih menuai sorotan media massa. Supervisi yang dilakukan oleh KPK dalam kelanjutan penanganan kasus ini dinyatakan telah selesai dan nihil hasil. Oleh karena itu, MAKI lantas melayangkan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Selain sosok Djoko Tjandra, kasus suap yang penuh kontroversi lainnya ialah datang dari mantan menteri sosial Juliari Batubara dan menteri kelautan Edhy Prabowo. Sama halnya dengan terdakwa suap lainnya, kedua tersangka ini juga mendapat hukuman yang dinilai ringan dibandingkan dengan kasus yang dilakukan mereka.
Alhasil, nilai kepuasan publik terhadap penegak hukum Indonesia terbilang rendah. Mengutip dari laman Merdeka, menurut lembaga Survei Charta Politika dari survei yang dilakukan pada 12-20 Juli 2021 dengan melibatkan 1.200 responden, 47,3% diantaranya menilai bahwa penegak hukum di Indonesia buruk.
Atas dasar data tersebut patut menjadi PR besar bagi pemerintah untuk membenahi sektor hukum agar kembali memperoleh kepercayaan dari publik. Kasus keringanan hukuman yang selayaknya tak diberikan kepada tersangka menjadi barometer penilaian atas kepuasan tersebut. Skandal korupsi seperti yang terpampang di atas mungkin hanya secuil dari kasus yang terungkap. Sehingga bocornya kasus tersebut seolah-olah memaksa sang terdakwa untuk mendapat ganjaran. Dengan demikian, kasus-kasus peng-influence hukum seharusnya dapat hilang di negara berpayung hukum ini.
Demikian analisis Netray terkait isu kasus suap di Indonesia. Simak isu terkini lainnya hanya di https://blog.netray.id/