Djawanews.com – Nama Mardani H Maming tengah ramai jadi sorotan setelah disebut sebagai orang yang bertanggung jawab atas kasus korupsi tambang batu baru menurut saksi Ahli Administrasi Negara Margarito Kamis.
Margarito mengungkapkan bahwa mantan bupati Tanah Bumbu Mardani H Maming harus bertanggung jawab dalam kasus Suap peralihan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Batu Bara yang menjerat mantan Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Tanah Bumbu, Dwidjono Putrohadi Sutopo.
Politikus PDI Perjuangan tersebut, menurut Margarito, bertanggung jawab karena dia adalah pejabat yang berkuasa untuk menandatangani pengalihan IUP tersebut.
“Dalam prinsip administrasi negara, siapa yang bertandatangan, dia lah yang bertanggung jawab, dia pula satu-satunya pejabat yang bisa mencabut, tidak ada yang lain,” kata Margarito dalam lanjutan persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banjarmasin pada Senin, 23 Mei.
Kronologi Peralihan Izin Pertambangan Batu Bara oleh Mardani H Maming
Selain menghadirkan Margarito, agenda sidang berisi pemeriksaan terdakwa Dwidjono Putrohadi dan saksi ahli pidana, Muzakir. Dalam keterangannya, Dwidjono menyatakan permohonan peralihan IUP dari PT Bangun Karya Pratama Lestari (BKPL) ke PT Prolindo Cipta Nusantara (PCN) itu terjadi pada rentang waktu Februari- Maret 2011. Dia mengaku permintaan tersebut didapatkannya melalu Mardani.
“Permohonan tersebut ditujukan sama siapa?” tanya jaksa penuntut umum kepada Dwijdono. “Bupati,” kata Dwidjono.
“Apakah tidak melalui saudara langsung ke bupati?” tanya JPU.
“Bupati disposisi ke kepala dinas. Pokoknya kepadanya bupati. Setelah disposisi beliau, turun ke dinas melalui staf bupati. Ada juga yang tanpa disposisi beliau, diantar ke tempat saya langsung,” ujar Dwidjono.
Dwidjono mengenal Direktur Utama PT PCN Henry Soetio saat menjalani tugas di Jakarta pada Februari 2011. Saat itu, Dwidjono ditelepon oleh Bupati Tanah Bumbu, Mardani H Maming yang bertanya posisi Dwidjono.
“Pak Dwi dimana? Ulun (Saya) di Jakarta. Pian (Kamu) ke sini, hendak ulun kenalkan," kata Dwidjono menirukan percakapannya dengan Mardani melalui hubungan telepon.
"Saya datangi sebuah hotel di Jakarta. Di sana sudah ada Bupati Mardani H Maming, dan Henry Soetio. Ko Henry, ini pak Dwi, Kadisnya ESDM Tanbu. Pak Dwi, ini Ko Henry yang mengajukan pengalihan dari BKPL ke PCN,” kata Dwidjono menirukan percakapan dengan Mardani saat bersua Henry Soetio.
Dwidjono mempersilakan Henry Soetio mengajukan peralihan IUP secara normatif. “Nanti Pak Dwi dibantu Ko Henry ini untuk mengalihkan BKPL ke PCN,” ujar Dwidjono menirukan perintah Mardani.
Setelah pertemuan itu, Dwidjono menyatakan bahwa Henry Soetio sempat mendatangi kantornya untuk menyanyakan kelanjutan peralihan IUP tersebut. Dwidjono pun mengaku sempat mendiamkan permintaan itu selama dua bulan, karena tahu hal tersebut melanggar Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba.
Dwidjono mengaku akhirnya tetap memproses permintaan PCN atas perintah Bupati Mardani. “Pak Dwi proses saja. Ini sesuai perintah pak bupati, proses dilanjut,” kata Dwidjono menirukan perintah dari salah satu anak buah Mardani.
Setelah empat tahun berlalu, Dwidjono mengaku sempat menemui Henry Soetio pada Desember 2015 di sebuah rumah makan di Batulicin, Kabupaten Tanah Bumbu. Dwidjono bermaksud pinjam uang sebagai modal mendirikan PT Borneo Mandiri Prima Energi (BMPE). Henry dan timnya lalu mengecek lahan tambang milik Dwidjono, sebelum memberi pinjaman duit.
Pada akhir Desember 2015, Henry Soetio menyodorkan kartu ATM atas nama Yudi Aron kepada Dwidjono. Setahu Dwidjono, duit di ATM totalnya sebanyak Rp 13,6 miliar. Atas pinjaman itu, PT BMPE sebagai kontraktor tambang menjual 80 ribu metrik ton batu bara kepada PT PCN lewat pelabuhan PT Angsana Terminal Utama. Penjualan batu bara ini untuk mencicil hutang kepada Henry Soetio.
Kasus korupsi ini berawal dari peralihan izin usaha tambang dari PT Bangun Karya Pratama Lestari (BKPL) kepada PT PCN pada 2011, saat Mardani masih menjadi Bupati Tanah Bumbu. Hal itu dinilai melanggar peraturan karena izin usaha tambang tak diperbolehkan untuk dialihkan.
Kejaksaan Agung yang menangani kasus ini menjadikan Dwidjono Putrohadi Sutopo sebagai tersangka. Menurut kejaksaan, Dwidjono menerima uang sebesar Rp 10 miliar dari PT PCN. Padahal, menurut pengacara Dwidjono, Isnaldi, uang tersebut sebagai piutang yang sudah diselesaikan urusannya.
Pengacara Dwidjono justru menuding Mardani H Maming yang menerima aliran dana dari PT PCN. Dalam suratnya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, Isnaldi, membeberkan peran Mardani dan aliran dananya.
Menurut Isnaldi dalam suratnya, Mardani yang merupakan Ketua DPD PDI Perjuangan Kalimantan Selatan bahkan menerima aliran dana dari PT PCN melalui PT Permata Abadi Raya (PAR) dan PT Trans Surya Perkasa (TSP). PT PAR dan TSP bekerja sama PT PCN dalam hal pengelolaan pelabuhan batu bara dengan PT Angsana Terminal Utama (ATU). Kedua perusahaan itu disebut sebagian sahamnya dimiliki oleh PT Batulicin enam sembilan grup yang merupakan kepunyaan Mardani.
Dugaan Isnaldi itu diperkuat dengan kesaksian Direktur Utama PT Prolindo Cipta Nusantara (PCN), Christian Soetio dalam persidangan dua pekan lalu. Christian menggantikan posisi Henry yang telah meninggal.
Dalam kesaksiannya, Christian menyatatakan mengetahui aliran dana dengan total sebesar Rp 89 miliar dari PT PCN ke PT PAR dan PT TSP sejak tahun 2014 hingga 2020.
Kuasa Hukum Mardani H Maming, Irfan Idham, membantah semua kesaksian tersebut. Menurut dia, Mardani menandatangani Surat Keputusan pengalihan IUP itu karena telah mendapatkan persetujuan dari Dwidjono. Dia jugaa sempat membantah keterangan Christian bahwa Bendahara Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) tersebut menerima aliran dana dari PT PCN.
Dapatkan warta harian terbaru lainya dengan mengikuti portal berita Djawanews dan akun Instagram Djawanews.