Djawanews.com – Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan semua negara saat ini dalam keadaan sulit akibat pandemi COVID-19 dan perang Rusia-Ukraina. Ia mengingatkan untuk berhati-hati dan waspada sehingga tidak ada peningkatan kasus COVID-19 lagi.
Hal tersebut disampaikannya saat memberi pengarahan di Puncak Hari Keluarga Nasional ke-29 di Medan pada hari ini, Kamis, 7 Juli.
"Sekarang ini semua negara tidak berada pada posisi yang aman-aman saja. Hati-hati mengenai ini," kata Jokowi dalam tayangan YouTube Sekretariat Presiden.
Dia mengatakan banyak tantangan berat yang harus dihadapi. Salah satunya adalah pandemi COVID-19 yang terjadi selama 2,5 tahun belakangan ini.
Semua pihak, sambung Jokowi, diminta tetap waspada dalam menghadapi penyebaran COVID-19 di Tanah Air. Mengendalikan laju kasus harus dilakukan agar pemulihan ekonomi bisa dilakukan.
"Kita telah 2,5 tahun menghadapi tantangan berat yang namanya pandemi COVID-19 dan sampai saat ini belum rampung, belum selesai. Negara-negara lain masih tinggi COVID-nya, kita alhamdulillah, meskipun masih berada pada posisi yang rendah inilah tugas kita untuk mengendalikan," ungkap mantan Gubernur DKI Jakarta itu.
"Tetap waspada jangan sampai naik lagi karena kalau COVID bisa kita kendalikan pemulihan ekonominya bisa lebih mudah," imbuhnya.
Selain pandemi COVID-19, masalah lain yang harus diperhatikan adalah perang antara Ukraina dan Rusia. Jokowi mengatakan kondisi ini membuat masalah besar karena berkaitan dengan pangan dan energi.
Bahkan, imbas dari perang, harga minyak dunia naik menjadi 110-120 dolar Amerika per barel dari yang normalnya berkisar 60 dolar Amerika Serikat per barel.
Kenaikan inilah yang kemudian berimbas pada kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
"Negara kita ini masih tahan untuk tidak menaikkan yang namanya Pertalite," tegasnya.
"Negara lain yang namanya BBM, bensin itu sudah di angka Rp31 ribu di Jerman, di Singapura. Thailand Rp20 ribu. Kita masih Rp7.650 ribu. Karena apa? Disubsidi oleh APBN," sambung Jokowi.
Jokowi menyebut subsidi ini akan diberikan mengikuti APBN.
"Kalau sudah tidak kuat, mau bagaimana lagi ya kan. Kalau BBM naik ada yang setuju? Pasti semua akan ngomong tidak setuju. Tapi ingat bahwa kita itu masih impor separuh kebutuhan kita 1,5 juta barel minya dari luar masih impor," tuturnya.