Dalam menjalankan tugasnya seringkali jurnalis masih mendapatkan pembatasan bahkan kekerasan. Sehingga dibutuhkan kebebasan jurnalistik di negara demokrasi seperti Indonesia.
Ironis memang, ketika kebebasan jurnalistik di negara demokrasi masih dibatasi. Dalam menjalankan tugasnya, masih banyak ditemui jurnalis yag mendapatkan kekerasan dan tindakan persekusi.
Kebebasan Jurnalistik di Indonesia Masih Lemah
Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dilansir dari liputan6.com (18/7) mencatat dalam tiga tahun terakhir, kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia meningkat. Pada tahun 2017 terdapat 64 kasus, tahun 2018 ada 64 kasus, dan terakhir dalam aksi 22 Mei 2019 ditemukan ada 20 kasus.
Kekerasan yang dimaksudkan di antaranya berupa pengusiran, serangan fisik, hingga pemidanaan karya jurnalistik. Tentu kejadian tersebut menjadi keprihatinan di negara demokrasi.
Terkait dengan hal tersebut, Indonesia kini berkomitmen dan mendukung kebebasan jurnalistik dengan mengikuti “Konferensi Global untuk Kebebasan Media”.
Komitmen tersebut sebagai salah satu langkah antisipasi kekerasan terhadap jurnalis melalui institusi multilateral, asosiasi para jurnalis, dan organisasi sipil. Pemerintah sudah seharusnya aktif untuk memperkuat kebebasan media, salah satunya dengan cara bersinergi bersama masyarakat sipil, organisasi media, dan para ahli komunikasi.
Kekerasan terhadap jurnalis di indonesia dapat memperburuk indeks kebebasan pers Indonesia. Bahkan VOA Indonesia mencatat, berdasarkan Organisasi pemantau media yang berbasis di Paris, RSF menempatkan Indonesia pada peringkat 124 negara dengan kebebasan pers buruk dari 180 negara.
Posisi Indonesia bahkan berada jauh di bawah Timor Leste yang ada di pada peringkat 93. LBH Pers Ade Wahyudin, dilansir dari VOA Indonesia (4/3) menjelaskan jika kekerasan yang dilakukan ormas dan warga terhadap jurnalis dapat dikategorikan sebagai sensor terhadap produk jurnalistik.
Siapa saja yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis, dapat digolongkan dalam pelanggaran pidana dan dapat tersangkut denan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Adapun ancaman hukuman bagi orang yang menghalangi kemerdekaan pers dalam UU Pers yaitu penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp500 juta.
Meskipun pada kenyataannya, banyak kasus kekerasan terhadap jurnalis yang jarang diselesaikan. Hal tersebut dikarenakan pelaku tidak kekerasan sebagian besar memiliki organisasi, dan pejabat publik.
Tindak lanjut dari kasus kekerasan terhadap jurnalis, dengan demikian memiliki kendala. Padahal hukum harus diterapkan agar menimbulkan efek jera bagi pelakunya.
Agar tercapainya demokrasi Indonesia yang bebas dari kekerasan terhadap jurnalis, diperlukan komitmen dari semua pihak untuk mendukung iklim kebebasan pers itu sendiri.
Aparat kepolisian, ormas, dan perusahaan media yang mempekerjakan jurnalis , dengan demikian harus bersama-sama bersinergi untuk memahami kebebasan jurnalistik dan pers demi tercapainya Indonesia yang lebih maju dan demokratis.