Djawanews.com - Kebijakan cukai hasil tembakau bertujuan untuk mengendalikan konsumsi tembakau di Indonesia. Namun upaya ini tampaknya belum membuahkan hasil.
Buktinya adalah harga jual rokok yang belum naik di pasaran. Harga rokok masih terbilang murah dan menyebabkan rokok dapat dijangkau oleh siapa saja, termasuk anak-anak.
“Bisa dikatakan pengendalian tembakaunya belum optimal. Memang cukai baru saja dinaikkan sebesar 12,5 persen, dan kenaikannya kalau dilihat dari harga jual memang belum optimal,” kata Putu Ayu Swandewi Astuti, Ketua Pusat Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Ayu mengatakan, kenaikan harga rokok saat ini belum mencapai harga yang membuat masyarakat enggan membeli rokok. Karena itu, aksesibilitas rokok makin tinggi, baik untuk remaja maupun orang dewasa.
Adapun sebelumnya pemerintah telah menetapkan kebijakan kenaikan tarif cukai dan mengatur harga rokok di pasaran pada batas 85 persen dari harga jual eceran (HJE) seperti yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 198 Tahun 2020.
Ayu juga menyoroti apabila pengendalian konsumsi tembakau tidak dilakukan secara optimal, bonus demografi yang harusnya dapat dimanfaatkan akan kandas.
“Perilaku berisiko seperti merokok akan berdampak pada sumber daya manusia dan akan mempengaruhi optimalisasi bonus demografi,” kata Ayu.
Dia menilai seharusnya momen dan posisi menguntungkan dari bonus demografi harusnya dapat dimanfatkan dengan kualitas sumber daya manusia yang mumpuni.
Saat ini, sebagian besar harga rokok masih tetap sama sekalipun cukai hasil tembakau naik. Kebijakan harga menjadi masalah ketika perusahaan menjual produknya di bawah 85 persen dari harga jual eceran (HJE) sehingga harga jual rokok menjadi lebih murah.
Untuk mengetahui ragam perkembangan peristiwa regional, nasional dan mancanegara terupdate, ikuti terus rubrik Berita Hari ini di warta harian Djawanews. Selain itu, untuk mendapatkan update lebih cepat, ikuti juga akun Instagram @djawanews.