Jakarta, (30/01/2020) – Subsidi gas lpg 3 kg atau yang biasa disebut “gas melon” dinilai pemerintah tidak efektif, lantaran dalam proses distribusinya dinilai tidak tepat sasaran. Wacana naiknya harga gas lpg pun bergulir!
Pada tahun 2019, besaran subsidi pemerintahan yang dikeluarkan untuk gas melon adalah Rp 42,47 triliun. Nilai subsidi tersebut dinilai menumpuk beban negara, sehingga harus dicari kebijakan baru.
Gas LPG 3 KG, Hanya untuk Masyarakat Miskin
Kini gas melon diwacanakan agar terdistribusikan dengan jalur tertutup, dengan harapan dapat benar-benar digunakan bagi penerima subsidi. Rakyat miskin adalah target penerima subsidi tersebut, sehingga rakyat “non miskin” tidak dapat menggunakan gas murah lagi.
Tampaknya kebijakan pemerintah baru-baru ini masih membuat kaget masyarakat. Sebagaimana diketahui, selama satu dekade ini gas melon memang sudah terlanjur dekat dan akrab dengan rakyat.
Rakyat yang memakai gas melon dapat dimengerti, sebagai seluruh warga negara Indonesia, tanpa terkecuali. Perlu diingat, penggunaan bahan bakar gas dulunya adalah langkah pemerintah untuk mengkonversi penggunaan minyak tanah.
Kembali ke tahun 2006 hingga 2007, saat itu minyak tanah masih digunakan mayoritas penduduk Indonesia (terutama dari golongan bawah) untuk keperluan sehari-hari, terutama kebutuhan dapur. Harga minyak dunia yang tidak stabil, dan beban subsidi minyak tanah tinggu, membuat pemerintah melakuan konversi.
Sosialisasi pun gencar dilakukan, bersamaan dengan konversi ke tabung gas lpg 3 kg dan pencabutan subsidi minyak tanah. Namun, beberapa tahun kemudian pemerintah ternyata sudah ancang-ancang, dengan melabeli gas melon ”hanya untuk masyarakat miskin”.
Jika benar gas lpg 3 kg akan didistribusikan dengan jalur tertutup, maka banyak rakyat yang tidak mendapatkannya dan membelinya sebagai ”non-subsidi”. Hal tersebut akan menimbulkan efek domino. Harga gas naik, kebutuhan naik, tapi pendapatan tetap, dan rakyat meradang!