Djawanews.com – Pemerintah Jepang telah resmi mengesahkan undang-undang baru tentang konten online. Dengan undang-undang yang mulai berlaku Kamis, 7 Juli lalu ini, posting "penghinaan online" bisa mendapatkan hukuman hingga satu tahun penjara.
Pihak yang dihukum karena penghinaan online ini juga dapat didenda hingga 300.000 yen (Rp 33 juta). Sebelumnya, hukumannya kurang dari 30 hari penjara dan denda hingga 10.000 yen (Rp 1 juta).
Undang-undang tersebut akan ditinjau ulang dalam tiga tahun mendatang untuk menentukan apakah UU itu berdampak pada kebebasan berekspresi. Penyebabnya karena muncul kekhawatiran yang diajukan oleh para kritikus RUU tersebut. Namun para pendukung UU itu mengatakan bahwa aturan ini diperlukan untuk memperlambat cyberbullying di negara ini.
Namun menurut Seiho Cho, seorang pengacara kriminal di Jepang, dalam UU itu tidak ada definisi yang jelas tentang apa yang dianggap sebagai penghinaan. Kepada CNN ia menyebut jika undang-undang hanya mengatakan penghinaan berarti merendahkan seseorang tanpa fakta spesifik tentang mereka. Ini sebagai lawan dari pencemaran nama baik, yang diklasifikasikan sebagai merendahkan seseorang sambil menunjukkan fakta spesifik tentang mereka.
“Saat ini, bahkan jika seseorang menyebut pemimpin Jepang idiot, maka mungkin di bawah undang-undang yang direvisi itu bisa digolongkan sebagai penghinaan,” kata Cho, seperti dikutip The Verge.
Pejabat Jepang mendorong tindakan keras terhadap cyberbullying setelah kematian bintang televisi realitas, Hana Kimura, karena bunuh diri, setelah menjadi sasaran pelecehan online. Ibunya mendorong lebih banyak kebijakan anti-cyberbullying setelah kematiannya.
Beberapa penelitian menunjukkan hubungan antara perilaku bunuh diri dan cyberbullying, meskipun sebagian besar penelitian telah dilakukan pada anak-anak dan remaja.
Inggris juga memiliki undang-undang yang mengkriminalisasi pesan publik yang "sangat ofensif", dan orang-orang telah ditangkap dan didenda karena tweet mereka yang ofensif.
Bahasa dalam kebijakan UU itu juga dinilai ambigu, dan pengadilan memutuskan apa yang dianggap sebagai ofensif "sangat" berdasarkan kasus per kasus.