Djawanews.com – Seorang prajurit veteran Indonesia yang dulu pernah bertugas menjadi mata-mata untuk mengawasi pergerakan Belanda, kini masih harus berjuang, bukan untuk mengankat senjata melawan musuh, namun menjajakan mainan anak-anak untuk menyambung hidup.
Adalah Ngatimin Citrowiyono (87 ), dia pernah punya pengalaman pahit dengan serdadu Belanda. Ayahnya, tewas tertembak pasukan Belanda saat berperang.
Lansia yang akrap disapa Pak Min ini menceritakan, saat masih muda, dia pernah ikut berperang melawan penjajah dalam agresi militer Belanda II di Donohudan, Boyolali.
Kala itu, usia Pak Min baru 16-17 tahun. Karena dianggap belum dewasa, laki-laki kelahiran Colomadu, Karanganyar tahun 1933 ini ditugaskan menjadi mata-mata Indonesia untuk mengawasi pegerakan Belanda.
“Yang namanya penyamar itu ya enggak ada pangkatnya. Yang penting itu saya membela bangsa dan negara. Yang maha kuasa yang tahu,” ujar Pak Min melansir Inews, Jumat (14/8/2020).
Ketika peristiwa G30S PKI, Pak Min telah bekerja di Jakarta. Peristiwa itu ternyata berimbas terhadap pekerjaannya di Ibu Kota.
Pak Min pun memutuskan untuk kembali ke Solo dan bekerja di Dinas Pekrjaan Umum (DPU). Akan tetapi, karena gaji pegawai negeri sipil (PNS) saat itu kecil, Pak Min memutuskan untuk banting stir ke dunia usaha.
Awalnya, dia berjualan lampu semprong. Dari bisnis ini dia akrab disapa Mbah Semprong. Hanya saja popularitas lampu semprong sudah mulai meredup dan digantikan dengan lampu PLN.
Kondisi itu membuat Pak Min beralih profesi menjadi tukang becak dan berjualan mainan hasil buatan sendiri.
“Bisnis itu saya banyak, sesulit apapun saya harus mampu,” ucap Pak Min.
Meski usianya sudah tak lagi muda, Pak Min alias Mbah Semprong masih semangat untuk mencari nafkah. Keinginannya untuk terus bertahan hidup dapat menjadi inspirasi bagi anak-anak muda.