Djawanews.com – Petugas imigrasi Bali mendeportasi pria warga asal Prancis berinisial TAB (43) karena melakukan tindakan tidak pantas di Bandara I Gusti Ngurah Rai. Bule tersebut menunjukkan jari tengah dan ingin memperlihatkan kemaluannya ke petugas imigrasi saat diminta membayar denda izin tinggal.
Kepala Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Denpasar, Bali, Gede Dudy Duwita mengatakan WNA tersebut juga diketahui telah overstay selama empat hari.
"Yang bersangkutan telah melanggar ketentuan izin tinggalnya dengan telah overstay selama empat hari, melebihi batas waktu yang diizinkan sesuai dengan VoA yang telah diperpanjang. Pelanggaran itu, merupakan tindakan yang bertentangan dengan Undang-undang Nomor 6, Tahun 2011, tentang keimigrasian, khususnya Pasal 78 ayat (2) Jo. Pasal 75 atas perilaku yang dianggap meresahkan dan mengganggu ketertiban," kata Duwita, Selasa, 26 Maret.
Bule ini juga membuat onar saat akan keluar Bali dan peristiwa itu terjadi pada Rabu (13/3) pagi di Bandara I Gusti Ngurah Rai, Bali. Kejadian bermula, ketika bule itu berada di Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai dan hendak menaiki penerbangan AirAsia (QZ 502) menuju Singapura.
Bule ini datang terakhir kali ke Indonesia melalui TPI Ngurah Rai menggunakan Visa On Arrival (VoA) yang telah diperpanjang dan berlaku sampai dengan tanggal 9 Maret 2024. Petugas berusaha memberikan penjelasan soal bule ini overstay dan harus membayar denda sebesar Rp 1 juta rupiah per hari.
Namun, bule ini mulai menunjukkan gelagat tidak menyenangkan dan tidak berkenan membayar dan mengklaim bahwa ia memiliki Kartu Izin Tinggal Terbatas (Kitas) serta sudah lama tinggal di Indonesia.
Petugas menjelaskan, Kitas yang dimaksud bule ini masih berupa E-visa yang harus terlebih dahulu diaktivasi pada saat kedatangan. Sehingga hal tersebut mengharuskan dia keluar dari wilayah Indonesia terlebih dahulu.
Kendati diberi penjelasan,.bule ini bersikeras tidak menerima dan bahkan melakukan perlawanan dan bersikap tidak kooperatif dan membuat kerusuhan dengan memaksa memasuki ruangan office imigrasi keberangkatan TPI Ngurah Rai untuk mengambil paspor, boarding pass dan visanya dengan dalih petugas tidak berhak menahan paspor dan dokumen miliknya.
Selain itu, bule tersebut juga berkata kasar berulang kali dan ia melecehkan petugas dengan mengacungkan jari tengah serta hendak membuka celana dengan tujuan mengolok-olok petugas dan melakukan kontak fisik serta melakukan perlawanan terhadap petugas.
Melihat hal itu, langkah tegas diambil oleh pihak imigrasi dengan menunda keberangkatan bule ini dan meminta bantuan pihak keamanan penerbangan atau Avsec Angkasa Pura untuk melakukan pengamanan terhadap penumpang yang telah membuat keributan tersebut.
"Selanjutnya diserahkan ke Bidang Intelijen dan Penindakan Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Ngurah Rai," imbuhnya.
Dudy Duwita menyampaikan, pengenaan biaya denda overstay sendiri diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 28, Tahun 2019, tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Kementerian Hukum dan HAM di mana denda dapat dikenakan bagi WNA yang overstay.
Sebagai konsekuensi dari pelanggarannya, bule ini diamankan di Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Ngurah Rai. Saat dilakukan pemeriksaan, dia mengaku tidak mengetahui kalau dirinya telah overstay karena menurut informasi dari biro perjalanan yang membantu pengurusan izin tinggalnya, ia masih dapat tinggal di Indonesia maksimal 60 hari.
Selain itu, dia mengaku perilakunya yang membuat onar tersebut karena sedang emosi karena malam sebelumnya sempat meminum bir dan arak sehingga menjadi sedikit mabuk. Karena pendeportasian tidak dapat dilakukan dengan segera, bule ini dipindahkan ke Rudenim Denpasar.
Setelah didetensi atau diamankan selama 12 hari, bule tersebut dideportasi ke kampung halamannya pada tanggal 25 Maret 2024 dengan seluruh biaya ditanggung oleh yang bersangkutan.
Dia dideportasi melalui Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai dengan tujuan akhir Charles De Gaulle International Airport dan dimasukkan dalam daftar penangkalan ke Direktorat Jenderal Imigrasi.
"Sesuai Pasal 102 Undang-undang Nomor 6, Tahun 2011 tentang keimigrasian, penangkalan dapat dilakukan paling lama enam bulan dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama enam bulan. Namun demikian, keputusan penangkalan lebih lanjut akan diputuskan Direktorat Jenderal Imigrasi dengan melihat dan mempertimbangkan seluruh kasusnya," ujar Dudy.